Jujur. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri mengapa aku menjadi bersiap-siap untuk jalan bersama Diksa? Baiklah, aku menerima ajakannya untuk menonton layar tancap. Tapi kenapa ketika pukul tujuh kurang seperempat, aku menjadi ragu begini?
“Mau kemana, Aryn?” itu Ibu. Dia sudah biasa masuk ke kamarku, mengecek apakah aku belajar atau sudah tidur. Dan justru sekarang aku sedang berdandan di depan cermin.
Aku berbalik ke arahnya dan Ibu memandangku. “Sama Irawan?” tanyanya dan aku jelas menggeleng. Tentu saja. Ibu juga tahu aku sudah putus dengannya. “Lalu, siapa?”
Ibu membelai rambutku dan merapikannya. “Diksa,” jawabku, dan dia melebarkan matanya setelah mendengar nama itu. Dia tersenyum.
“Diksa yang kemarin ke sini?”
Aku mengangguk.
“Kamu dekat dengan dia?”
Aku menggeleng dan ragu sendiri. Tapi Ibu tahu tentang bagaimana perasaanku.
“Jangan lupa jaga diri. Aryn diajak ke mana?” Tanya Ibu.
Aku mengatakan pergi menonton layar tancap dan ibu mengizinkan. Ibu meninggalkan kamar. Beberapa waktu aku terdiam dan lalu terdengar suara motor di depan rumah. Itu pasti Diksa, dan memang dia.
Aku memakai vintage skirt yang cukup sopan, menurutku, dan berpamitan pada Ayah. Dalam hati aku sangat takut kalau Ayah tidak mengizinkan tapi ternyata dia tidak mempermasalahkan apapun. Lebih-lebih saat Diksa masuk ke dalam rumah, Ayah berbincang dengannya dulu. Tentang apa dan sampai sekarang aku tak tahu. Hanya saja bagiku, mengapa mereka sangat akrab?
Diksa, malam ini tampak tidak biasa-biasa saja meskipun hanya mengenakan celana jins dan jaket levis. Juga, dengan motor RX-Spesial miliknya. Ah. Mengapa jadi terus memikirkannya begini? Aku tahu aku sedang tidak beres, jadi aku harus mengendalikan diriku.
Pergi aku bersama Diksa setelah dia berbicara dengan Ayah. Dia terenyum melihatku mulai dari keluar pintu rumah, menyalakan motornya dan meminta aku untuk naik. Akan sangat bedampak tidak baik-baik saja pada perasaanku tapi baiklah aku berpegangan pada bahunya. Aku merasakan dia tertawa kecil dari belakang.
“Kamu tidak mau berpegang di pinggangku?” tanyanya sebelum motor berjalan.
Dan aku terdiam, menautkan alis, membayangkan seribu imajinasi tentang berpegangan di pinggang. Itu terlalu dekat, Diksa...
“Iya, nggak apa-apa kalau maunya di bahu. Pegang yang erat, nanti jatuh. Jangan sampai kamu kenapa-napa.” Tuturnya dan motor melaju pelan-pelan, dan sedang, dan dipercepat. Lama semakin lama aku berpegangan di pinggangnya. Diksa benar-benar kurang ajar dalam bercandaannya. Sengaja untuk melaju kencang supaya aku memeluk.
Memang sebuah suratan atau hanya kebetulan. Dunia cepat beralih. Setelah aku menceritakan ini, kau, pembaca, pasti sudah akan tahu jalan ceritanya. Tapi kamu harus membaca sampai akhir, semua jelas tidak akan berakhir di sini.
Yang suatu nanti. Nanti yang kumaksud adalah tahun- tahun berikutnya. Aku merindu pada motor yang kunaiki bersama Diksa, tentu saja. Yang mana pada saat sampai semua serius, jalan berdua adalah tetap menjadi satu-satunya yang paling menyenangkan di bumi, bahkan untuk sekarang pun, dengannya. Sampai pada aku menulis ini.
Bukan lain orang yang hidup denganku hari ini, ya, dia. Ya Diksa itu. Tapi jalan berdua sudah tidak sama. Motor RX-Spesial sudah tidak lagi ada. Sudah kubilang bahwa dunia telah beralih. Tapi melihat bahwa dia tetap bersamaku pada kemudian hari, adalah setia yang tak terduga. Adalah nyata yang tak disangka. Adalah rasa yang tak ingin tiada.
Semoga sampai nanti. Semoga terus begini.
🍊
![](https://img.wattpad.com/cover/175240033-288-k587550.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DnA, 1996
Roman pour Adolescents-sama diksa, makan gorengan juga bisa bikin baper-