II. Jeritan Melengking

398 105 60
                                    

Tenang dulu :v
Tarik napas sebelum kejar-kejaran part berikutnya

(◕ᴗ◕✿)

_______________________________________________

Selasa, 16 Januari 2018
Adira

Sore itu, aku sungguhan melompat ke hutan yang ada di belakang rumah sakit, berlari tunggang-langgang melewati RW sebelah, lantas menyusuri jalan tikus hingga sampai ke depan pagar rumah. Napasku memburu, seolah meyakinkan bahwa ini semua nyata.

Siapa yang tidak kaget saat melihat gadis seusianya, diseret masuk sambil meronta-ronta ke dalam rumah sakit tua?!

Seketika rasa parno muncul, takut diculik seperti gadis itu ... apa benar dia diculik? Kenapa di rumah sakit tua ada penghuninya? Dari mana mereka berdua memiliki akses masuk?!

Begitu mencapai daerah sekitar rumah, cepat-cepat kukunci pagar, memasuki kediaman tanpa membuka sepatu lebih dulu, dan menghambur ke ranjang sambil melempar tas.

Banyak pertanyaan mengapung dalam kepala. Kadang kuyakinkan diriku sendiri bahwa di sini tidak ada lagi yang namanya kasus penculikan anak. Namun, kalau memang yang tadi itu hanya halusinasi atau imajinasiku saja, bagaimana bisa aspalnya memilki bercak darah?! Yang tadi pasti nyata! Aku melihatnya sendiri!

Hingga malam menjelang, kakak, ibu, dan ayahku pulang, tetapi tidak satu pun pertanyaanku terjawab. Mana berani aku bercerita pada mereka. Mau tidak mau, hari-hari selanjutnya tetap berjalan seakan kejadian sore itu tidak pernah terjadi.

Sekolahku menjadi lebih membosankan. Terutama saat isi benakku melayang-layang di tengah pelajaran terakhir fisika. Kalau bukan teman semeja yang melempari gumpalan kertas, mungkin nasibku sudah sama seperti Bara yang dihukum keluar kelas.

"Apa, sih, yang kamu pikirin?" Altair menyenggol sikuku dengan miliknya, membuatku bangun dari lamunan dan langsung memelototi papan tulis.

Dari samping, aku tahu dia tengah menatapku meminta penjelasan. "Eh, nggak ada. Kayaknya kurang tidur doang, semalem begadang." Itu tidak sepenuhnya salah. Semalaman aku mencari denah rumah sakit tua itu lewat internet, siapa tahu ada sejarah kecil-kecilan atau creepy pasta dari masyarakat lokal.

Yang kudapatkan hanyalah alasan kebangkrutan rumah sakit swasta itu, sebab tidak ditanggung pemerintah dan kurangnya donatur besar, tempat itu terpaksa ditutup pada tahun 2009. Belum lagi gaji karyawan yang belum sepenuhnya terbayar, membuat direkturnya botak kepala.

Pulang sekolah nanti, OSIS tidak ada kegiatan. Harusnya aku bisa ke sana lagi, sekalian pulang dan mengamati apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin saja tidak ada yang tahu kalau di dalam gedung itu ada korban dan sungguhan kasus penculikan. Kalau bukan diriku, siapa lagi yang mau repot-repot melapor? Ya! Kalau aku bisa memberi bukti, mungkin polisi bisa menyelidikinya. Ini semakin menyenangkan.

"Apa yang lucu?" Sekali lagi, Altair menyenggol sikuku. Kali ini lebih keras. "Ada tugas, Ra. Kamu paham dinamika partikel?"

Aku menggeleng, sadar dari lamunan untuk keduakalinya sekaligus menunduk malu karena ketahuan senyum-senyum sendiri. Aduh! Kenapa pula Altair lihat, sih?! "Soalnya lucu, dah yok kerjain." Kusambar buku tulis serta pulpen buru-buru, tak berani bersitatap langsung dengannya.

Teman sebangkuku itu mengernyit heran. "Kamu paham duluan? Padahal dari tadi bengong doang?"

"Arga Altair!"

Tulang kami mendadak kaku setelah panggilan melengking itu. Mataku melotot seraya menunduk menatap soal pada buku. Tepat di depan sana, sepasang mata berbingkai memelototi kami. Seisi kelas menaruh perhatian ke belakang kelas-tempat duduk kami.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang