IX. Narasi Berdarah

221 77 23
                                    

Senin, 22 Januari 2018—Adira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senin, 22 Januari 2018
Adira

Hari libur selalu berakhir lebih cepat dari hari-hari biasanya. Senin kembali menyerang, dan aku harus kembali pada rutinitas; berangkat lebih awal, menyiapkan pasukan upacara bendera sebagai anak OSIS, lalu berdiri di barisan terdepan sambil membawa map berisi teks undang-undang dasar.

Setelah semalaman Altair meneror dengan segudang rencananya hari ini, mataku masih sayup-sayup tertutup terkena semilir embun pagi menyejukkan. Rasanya punggung ini masih mau menempel dengan kasur bin selimut.

Tadi pagi, begitu kuberi tahu Altair kalau OSIS ada rapat sepulang sekolah, membahas tentang persiapan ulang tahun kota kami, wajahnya tertekuk. Seharian anak itu melipat tangannya di meja, memasang wajah berpikir serius, lalu menulis sesuatu di buku tulisnya, kemudian mengulangi hal yang sama hingga lonceng pulang sekolah.

Teman-temannya menghambur ke meja kami, membuat keributan kala aku bergegas memasukkan semua peralatan ke dalam tas.

"Kutunggu di lapangan, sini tasmu." Telapak tangannya terulur, bak majikan yang minta kembalian uang belanja. "Baca juga catetanku, hafalin." Dia menyodorkan buku tulis tipisnya setelah kuberikan tasku padanya. Altair bahkan tak repot-repot mengubah ekspresi dinginnya di depan teman-teman sekelas kami.

Tepat setelah aku menerimanya, para lelaki itu berlarian keluar kelas sambil teriak-teriak. Sudah, begitulah Seninku yang monoton seperti biasanya.

Rapat selesai pukul setengah lima sore, matahari sudah main perosotan di langit barat. Kupikir Altair bakal pulang duluan, malas menunggu gadis sepertiku di lapangan sekolah. Nyatanya, anak itu masih bermain bola dengan temannya yang tadi, oh ralat, Altair hanya duduk memegang ponselnya di sudut lapangan bersama Bara.

Begitu aku menghampirinya, tas kami sudah terdampar manis di dekat pantat Bara. Mereka serentak mendongak, menyadari cewek yang rambutnya mirip Simba di berdiri dengan napas ngos-ngosan.

"Udah baca, 'kan?" Altair bangkit, menepuk celananya, menyambar tas kami dan melambaikan tangan pada Bara. "Duluan!"

Aku memang sudah membaca catatannya-yang dia kerjakan selama jam pelajaran. Isinya hanya jadwal Dokter Flo beserta keterangan di beberapa tempat. Dia juga menggambar denah masing-masing lantai rumah sakit tempo hari. Bakat tersembunyinya menjadi arsitek mulai keluar.

Sekolah sudah sepi, menyisakan beberapa anak OSIS tadi yang memegang ponsel minta jemput di depan gerbang. Satpam mulai berkeliling, memeriksa tiap kelas terkunci.

"Jadi apa rencanamu abis ini?" tanyaku, langkah kami sudah melewati halaman depan gerbang sekolah.

"Kita ke basemant hari ini. Sampe nanti malem, Dokter Flo bakal di lantai tiga buat eksperimen pasien cewek." Wajahnya mendadak berubah lagi, ada senyum di sana dengan makna yang berbeda.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang