XIX. Tamu Tengah Malam

158 56 9
                                    

Rabu, 24 Januari 2018—Adira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rabu, 24 Januari 2018
—Adira

Aku dilanda panik. Sementara Neil tak kembali, menyusul pun sia-sia. Lantai tiga tak lagi bisa dibuka seperti biasa. Ditambah, ada sosok menyeramkan di sana, dan Anta belum kembali dari mengambil senjata. Padahal selangkah lagi kebebasan menungguku dengan semilir angin dingin.

Kupeluk diri sendiri, memojok di sudut meja resepsionis gelap-gelapan. Tidak ada pasien yang mengikutiku kemari, hampir seluruhnya sudah dibabi buta Altair dan Neil. Di tengah heningnya malam, aku berusaha mendengar lebih jeli lagi, siapa tahu ada siulan memanggil, atau kode-kode lainnya.

Sekitar setengah jam, aku hanya meringkuk sampai masuk angin, merasakan perutku bergerak tak enak nan gelisah. Ada yang salah ... ini waktuku untuk berpikir mengenai hal itu, apa yang salah sejak tiba di lantai permukaan ini?

Seharusnya Anta sudah kembali sejak tadi, atau mungkin dia lupa jalan untuk ke pintu depan? Sebelum kususul anak itu, alangkah baiknya dipikirkan matang-matang dulu. Kalau Altair, jelas dia tidak akan tersesat, toh dia duluan yang hafal tiap lekuk bangunan ini.

Kepalaku mulai mengurutkan reka kejadian sejak kami naik ke lantai satu, bersembunyi di ruangan Putri, sebelum akhirnya berhadapan dengan subjek 003. Keanehan terjadi sebelum itu, tetapi juga setelah kami kejar-kejaran di lantai paling bawah. Artinya, semua itu bermula dari ....

Pantatku memaksa bangkit, nyaris terjungkal sangking buru-burunya. Aku harus cepat menyusul Anta! Tanganku refleks menyambar salah satu tripod poster, menjadikannya senjata, lantas berlari terbirit meninggalkan ruang tunggu. Mereka semua dalam bahaya!

Begitu langkahku mencapai taman mini, hendak berbelok ke arah gudang, speaker yang menempel di sudut-sudut dinding menyala begitu saja. Terdengar suara tepuk tangan beserta deru napas dari seberang sana.

Bulu kudukku berdiri seketika. Inilah yang tidak beres sedari tadi! Saat aku dan Altair tiba di parkiran, pintu gerbang yang harusnya terbuka itu tertutup sendiri, padahal gerbang sejenis itu harusnya tidak disambungkan dengan listrik dan tidak bisa menutup secara otomatis.

"Aku sudah memperingatkanmu," ujarnya terkekeh geli, mengetuk-ngetuk benda berbahan kayu sambil menghela napas.

Jangan diam saja, masih ada yang harus kulakukan! Lebih cepat dari biasanya aku berlari, menyusuri lorong yang semakin masuk malah kian gelap. Mataku perlu beradaptasi sejenak untuk menyesuaikan penglihatan. Tinggal satu lorong lagi!

Namun, tubuhku justru hampir tersungkur lantaran memaksa berhenti mendadak. Kali ini aku sungguhan berharap bahwa apa yang kulihat tidaklah nyata. Di ujung lorong, tepat pada pertigaan gudang dan apotek, sebuah mayat tergeletak dengan perutnya yang dikoyak lebar-lebar.

Jarak kami hanya sepuluh meter, mampu kulihat matanya bahkan tidak tertutup dan mulut terbuka lebar. Belum sempat kuhampiri, seakan-akan hanya plastik berisi nasi bungkus jasad itu ditarik paksa ke satu sisi lorong oleh tangan panjang.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang