XI. Ruang Bawah Tanah

189 67 23
                                    

Senin, 22 Januari 2018
—Adira

Aku tidak pingsan, sungguh. Masih bisa kudengar suara Altair memanggil namaku dengan panik, lantas menyeret kami memasuki lorong gelap di sisi lain. Tangannya berkeringat, menepuk-nepuk pipi hingga nyaris memberiku napas buatan.

Tubuhku lemas luar biasa, dengan kepala pening nan berat di bagian belakang, aku tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku sendiri. Panik juga menguasai, mulai berpikir aneh-aneh kalau aku lumpuh dan sebagainya. Pikiran itu lenyap lima belas menit kemudian, perlahan mataku terbuka mendapati Altair memijat pelipisnya sendiri seraya bersandar di kotak-kotak kayu.

Ternyata, selama ini aku direbahkan pada paha kirinya. Wangi parfumnya di bagian bawah bibirku masih tercium, membuat tersipu sendiri kala menyadarinya.

Begitu kepalaku bergerak, Altair tersadar lantas membantuku duduk sendiri bersandar pada tembok dingin. Alisnya kembali rileks selepas menghela napas panjang, hanya sebentar karena setelah itu dia kembali berbisik ketus padaku.

"Ke mana aja, huh? Kubilang jangan lepasin rangkulannya, tapi kamu ngotot!" Tidak ada jarak lagi di antara kami, Altair membetulkan posisi kepalaku yang miring ke kiri dan nyaris rebah sebadan-badan.

Bibirku enggan untuk berucap, masih tidak memiliki tenaga untuk bicara. Kubiarkan kepalaku jatuh lemas di atas bahunya sementara lengan kami menempel.

"Bener deh, kalo kamu ngilang lagi, ntar kuborgol tangan kita biar ga ada yang ilang kayak anak ayam," dengkusnya kembali menyandarkan kepala pada kotak kayu. "Dira, aku nggak kuat ngangkat kamu. Tapi kita kudu keluar sekarang. Magrib udah lewat."

Percuma dia menayaiku ini itu, aku tidak bisa menjawabnya. Bahkan untuk sekadar bernapas pun rasanya mau mati! Padahal aku juga mau keluar dari sini, tidak perlu ditanya lagi soal itu.

Ketukan langkah kaki kembali terdengar, tetapi penglihatanku belum bisa menyeleksi apa-apa di depan sana. Sungguh, jarak pandang yang mampu kuraih hanya sebatas Altair dan kotak kayu berwarna coklat muda. Sisanya gelap, dan aku tidak tahu di mana kami saat ini.

"Kalo kamu nanya apa rencanaku abis ini, kita bakal ke kantor polisi," ujarnya semangat, degup jantungnya terdengar cepat dan jelas dari tempatku bersandar.

Anak ini harus berhenti bicara, atau Dokter Flo akan menemukan kami!

"Bukti udah ada di tas, sampel dan video darah serta korban dari tempatmu lari tadi—"

Peduli amat! Dia harus diam sekarang, suara derap kaki semakin dekat! Kupanjati tubuhnya, menggeleng memberinya kode untuk diam sejenak. Dadaku sudah naik turun ngos-ngosan, astaga gini doang capek?!

"Kamu ngapain, bah?"

Kamu yang diem, tolol! gerutuku dalam hati. Akhirnya aku mampu meraih telinganya untuk sekadar berbisik, "Dia ke sini." Pelan, amat pelan bahkan aku tak yakin dia mendengarnya.

Namun, ajaibnya Altair diam. Lelaki itu menoleh ke arahku dengan tatapan mengernyit. Dalam rongga dada itu, sesuatu menggedor keras-keras hendak loncat keluar dan terjun bebas.

"Bilang dari tadi dong!" bisiknya ketus, memasang wajah datar seperti biasa, tetapi tidak dengan jantungnya.

Sudah lama mungkin, entahlah baru-baru ini kusadari kalau pendengaranku semakin mengerikan? Sejak bersembunyi di balik almari ruangan Dokter Flo, ketukan sepatunya dari kejauhan pun mampu kudengar dengan jelas. Atau ini pengaruh keheningan di bawah sini? Kalau memang iya, lantas bagaimana caraku bisa mendengar detak jantung Altair?!

Beberapa detik, saat ketukan-ketukan itu berada pada titik gema tertinggi, aku ikut deg-degan. Berdoa dalam hati semoga Dokter Flo terus berjalan tanpa berhenti. Terkabul!

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang