XII. Istirahat Sejenak Sebelum Mati

191 67 38
                                    

Part kali ini, saya buat untuk rehat sejenak sebelum ngetik yang serem-serem. Sekaligus, memberi jeda biar nggak muluk-muluk kejar-kejaran mulu.

Ingat, Adira punya kehidupan sekolah normal, jadi tidak mungkin isi cerita ini terus-terusan skip mengenai bagian dalam rumah sakit.

Dan satu lagi, saya ingatkan kembali bahwa cerita ini dibuat sambil lari, alias ikut lomba maraton. Saya tulis tapa outline, hanya mengandalkan ending dan konflik utama. Jadi bila Anda sekalian menemukan plot hole, mohon dimention dan ingatkan saya.

Mulai dari sini, nggak ada istirahat lagi.

~~('-' Happy reading '-')~~

Selasa, 23 Januari 2018
—Adira

Orang tuaku marah luar biasa pada anak gadisnya, menceramahiku panjang lebar tentang pulang malam dan halusinasi anak remaja. Ayah tak habis pikir denganku mengapa tidak pulang lebih awal, sementara ibu pusing memikirkan arisannya dengan orang tua Altair.

Mereka bilang, seharusnya aku tidak main sampai malam—aku setuju dengan itu—terutama dengan Altair. Yang terakhir, aku tidak setuju. Kami teman semeja, bukannya apa, tetapi aku tak akan menyerah sampai Dokter Flo tertangkap dan semua pasien di sana bebas, jangan lupakan tas juga ponselku yang tertinggal!

Paginya, aku merengek pada Raya untuk meminjam tas. Kakak satu itu malah mengejekku melakukan hal aneh-aneh dengan Altair semalam, mengatakan kalau semuanya aman bersama Raya kalau aku mau membocorkan rahasia kami—sudah jelas kutolak.

Ibu mengatur rencanaku operasi SSCD tiga hari lagi, kami membicarakannya di sela beliau mengantarku ke sekolah pagi-pagi sekali. Saat kelas masih sepi, hanya aku seorang diri, kudengarkan semuanya sambil duduk di bangku paling belakang, memilih memejamkan mata. Semilir angin berembus, daun-daun bergesekan, tepak langkah, helai rambutku berterbangan, kicau burung, debaran jantungku, geretan kursi—

"Adira."

Sontak kubuka mataku buru-buru, mendapati Altair meletakkan tasnya di sebelah bangkuku. Wajahnya tertekuk sedemikian rupa, lebih dingin dari biasanya.

Dua menit pertama, dia diam. Jantungnya berdebar tak keruan. "Aku ... nggak tau mau ngomong apa. Entahlah, kayaknya orang tua kita bener. Aku cuma terobsesi sama hilangnya Aqila."

Dadaku ikut merasa tidak enak padanya, ada sesuatu yang mengganjal. "Hei, ga usah mikirin aku, nanti suka. Ibu bilang Jumat besok aku bisa dioperasi. Dan kayaknya SSCD itu bukan karna Dokter Flo." Kupamerkan senyum lebar, berbalik menghadapnya.

"Tapi tetep aja, Dir. Kamu nggak tau gimana paniknya aku pas tiba-tiba kamu runtuh, nggak bisa gerak. Mukamu kayaknya nahan sakit banget, mana mungkin aku tega!" Altair membuang wajahnya, menghindari tatapanku.

Satu persatu teman-teman sekelas mulai berdatangan, berseru girang ke luar kelas setelah melempar tasnya sembarangan.

"Aku tau, kok," lirihku.

"Apa?"

Kuembuskan napas panjang. "Aku nggak pingsan waktu itu. Aku liat semuanya, dan kamu tau ...?" Napasku tercekat di ujung tenggorokan. "Rasanya tuh cuma nyusahin kamu doang. Tujuan awal kita mau nyelametin kakakmu, tapi aku keras kepala sampe bikin janji sembarangan mau bebasin semua pasien. Dan sekarang, malah aku yang sakit."

Anak itu mematung dengan ekspresi wajah berbeda, masih enggan menatapku.

"Kamu tau, aku muak kalo terus salah-salahan gini. Dua-duanya salah, ga usah alay kayak anak-anak Wattpad." Aku bersedekap, kesal dengan situasi seperti sekarang. "Padahal kita bisa ke lantai tiga aja, buka pintu ruangan kakakmu, bebasin dia, pulang lewat emergency exit, dah. Happy ending ever after," dengkusku sebal, sungguh aku kesal dengan masa remaja ini.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang