XVIII. Perang Amuk-Amukan

147 59 7
                                    

Rabu, 24 Januari 2018
Adira

Aku sudah siap menggenggam sekop di tangan, Altair membawa kunci Inggris dari ruangan Putri, dan Neil mengepalkan tangannya memberi tanda kalau dia akan bertempur dengan tangan kosong.

"Kurus kayak lidi begini, aku pernah hampir masuk akpol seandainya nggak buta warna." Punggung tegap itu menyuruh dua adik kelasnya mundur, menyembunyikan kami lantas bersiap mendobrak pintu.

Altair sempat menoleh padaku sekilas dan berkata, "Kamu di sini aja. Diem, ketok pintu dua kali keras-keras kalo denger sesuatu."

Jelas aku menolak, mana bisa mereka berdua kelahi sementara aku diam saja macam gadis yang suka bawa pom-pom. Namun, sebelum bibir ini berujar apapun, Altair lebih dulu mendekatkan wajahnya hingga hidung kami menempel.

"Aku mau kamu lari keluar seandainya emang ada apa-apa. Pulang ke rumah, lapor polisi secepatnya!" Netra gelap lelaki sebangkuku berkilat-kilat di dalam gelap, sebelum akhirnya membuang wajah malu.

Yang selanjutnya terjadi sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat bahkan didengar. Monster yang paling kutakutkan ada di depan sana menunggu mereka: human centipede. Tiga orang wanita dijahit menjadi satu, bentuk mereka seperti kelabang. Sekilas mataku dengan wanita di tengah bertemu kala pintu terbuka dan mereka menyeruak masuk, dia menangis.

Sungguh aku malu kalau harus mendeskripsikannya dengan gamblang, tetapi mari kita perjelas. Human centipede adalah salah satu eksperimen zaman dulu yang melibatkan dua pasien atau lebih. Berlatar belakang eksperimen Nazi, juga film horor dengan tokoh utama dokter gila asal Jerman, kondisi mereka sebelas dua belas dengan film The Human Centipede.

Eksperimen ini membuat korbannya mau tidak mau memakan sisa makanan dari korban di depannya. Mula-mula semua korban akan disatukan dengan cara menjahit mulut-anus, begitu seterusnya hingga membentuk seperti kelabang atau kaki seribu. Cukup! Sampai di situ saja.

Ingin rasanya kututup telinga ini erat-erat, menahan untuk tidak mendengar jeritan mereka di dalam sana. Di saat bersamaan, aku tak bisa melakukannya atau sesosok akan mendekat dan kami semua dalam bahaya karena diriku lalai.

Benakku memutar kembali reka adegan beberapa menit lalu, saat mata sekop yang sedang kupeluk mampu menembus leher salah satu pasien wanita gila. Bagaimana ekspresi sedih bercampur kesaktian, tetapi terpaksa menyerangku dan berakhir tewas ditikam sekop kebun berkarat. Bagaimana darahnya membuat jejak estetik pada kaus dan permukaan kulitku.

Kaki ini rasanya kehilangan tenaga, lembek seperti jeli lepas dari wadah. Aku jatuh terduduk, bersandar pada dinding sambil memegangi kedua sisi kepala. "Apa kata orang rumah kalau mereka tahu bontot mereka adalah seorang pembunuh ...," isakku menahan tangis. Bukan saatnya menyesal, Adira!

"Pusing?" Sebuah tangan menepuk pundakku perlahan. "Sori, kayaknya kamu kudu jalan sendiri, aku nggak bisa gendong."

Aku mendongak, mendapati Altair dan Neil dengan wajah gelap-gelap-mungkin itu merah, tetapi di sini gelap. "U-udah?" Pantatku bangkit, menepuk pakaian sejenak lantas menyusul mereka berlari menaiki tangga tanpa menunggu jawaban.

Tidak ada banyak waktu, kuulangi sekali lagi kalau perlu. Empat jam lagi Dokter Flo datang, sesuai jadwalnya dan selalu tepat waktu. Tepat sebelum tubuhku hilang di balik pintu merah, sebuah siluet menyadarkanku. Itu ... persis seperti suster ngesot yang kulihat di lantai satu! Bagaimana bisa dia di sini?

Buru-buru kunaiki anak tangga, tidak mau melihat jasad panjang tiga orang wanita dengan pakaian lepek menjiplak lekuk tubuh. Baru kali ini rasanya aku mau muntah saat melihat darah, pasalnya mereka mati dengan kondisi tetap terikat antara mulut dan anus. Tiba-tiba saja aku ingat kalau jasad akan secara otomatis mengeluarkan sisa kotorannya kalau sudah menjadi bangkai.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang