V. Pasien Lepas

301 94 38
                                    

Sabtu, 20 Januari 2018
—Adira

Sesuai janjinya, Altair menelponku pagi-pagi buta. Hanya demi mengingatkan siang nanti kami memiliki janji sebagai partner dadakan. Siang itu juga, aku mau tak mau datang karena tak enak hati padanya.

Lelaki itu sungguh bersemangat dengan kaos dibalut kemeja lengan pendek dan celana training. Sebelas dua belas dengan pakaianku.

"Aku tak mau lama-lama, langsung aja pilih. Pertama kita selamatkan yang ada di gedung pendamping. Kelebihannya, dokter Flo tidak akan berada di sana hingga tengah hari," jelasnya panjang lebar, "tapi, pasien di sana tidak mudah diajak kompromi. Mereka rata-rata subjek penelitian remaja yang melibatkan kekuatan otak manusia. Jadi mereka bisa kapan saja menjerit memanggil Flo."

Dokter kemarin, kami memutuskan memanggilnya Flo. Entahlah, Altair mungkin memiliki dendam kusumat dengan nama itu. Dia sudah menceritakan semuanya padaku kemarin petang, sebelum kami pulang masing-masing.

Sampai saat ini, Altair hanya mendapatkan informasi seputar gedung pendamping. Apa saja keamanannya, isinya, sampai tiap-tiap kepribadian subjek. Di luar itu, kami masih sama-sama buta.

"Kedua, kita bisa menunda rencana pertama, dan melakukan study tour ke gedung utama. Dengan catatan, nyawa taruhan." Laki-laki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kami belum beranjak dari pagar belakang.

Benakku berpikir sejenak, menimbang-nimbang. Namun, keduanya sama-sama berbahaya. "Nggak ada yang lebih baik?" Saat mendapat gelengannya, aku berdecak pelan. "Yang kedua aja. Aku belum siap sakit mental sama pasien."

"Bagus! Inilah untungnya punya partner. Ayo!" Senyumnya kembali mengembang, belakangan ini dia senang tersenyum. Jauh berbeda kalau di dalam kelas.

Aku cukup mengikutinya, membiarkan Altair mengoceh tentang keberadaan dokter Flo di lantai atas siang-siang begini. Kami masuk melewati pintu depan. Sepasang kaca itu dirantai pegangannya, tetapi tubuh kami mampu menyelinap di sela-selanya dengan mudah.

Bau besi berkarat bercampur alkohol kuat menyusupi indra penciumanku. Hawa-hawa dingin menyeruak saat langkah berjalan lima ubin ke depan. Meja resepsionis ditumpuki berkas-berkas berdebu, lama tak disentuh kurasa.

"Mau ke mana?" tanya Altair mencekal pergelangan tanganku, mencegah pergi seorang diri.

"Study tour. Kamu mau laporan kita diterima kepolisian, 'kan? Kita harus punya bukti, minimal foto." Kurogoh saku celana panjangku, mengeluarkan ponsel dari sana, lantas mendekati meja resepsionis perlahan.

Masih terdengar suara biarpet dari balik dinding tripleks. Namun, aku tak akan menyangkal kalau memang ada orang lain di sini selain dokter Flo. Itu sebabnya kami harus berjaga-jaga

Altair mengekor di belakang, celingukan mengawasi tiap sisi dan sudut, memastikan tidak ada yang datang. "Ra, cepetan. Aku nggak bisa jamin apa emang ada orang lain."

Terlalu gelap di sini, tetapi aku tak bisa menyalakan flash ponsel. Kalau ada orang lain, keberadaan kami akan terungkap. Bahkan yang mampu kulihat hanyalah benda-benda besar, itu pun berwarna gelap kebiruan.

"Foto secukupnya. Kita kudu pergi sekarang, seseorang datang!" bisiknya, lekas mengamit tanganku untuk bersembunyi di balik meja besar yang tadi kuambil gambarnya.

Kami berlutut saling berhadapan dengan dada berdebar. Sementara dari sisi lain meja, cahaya minim mulai memancar tipis-tipis. Memang benar, ada orang lain di sekitar sini. Artinya, dokter Flo tidak sendirian karena jadwalnya sekarang bukan di ruangan ini.

Inilah mengapa Altair mengatakan bahwa opsi kedua lebih berbahaya dan mengancam nyawa. Namun, setidaknya dengan ini kami tahu apa yang ada di dalam.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang