VII. Lantai Tiga

239 88 21
                                    

Sabtu, 20 Januari 2018
—Adira

Satu-satunya tempat yang tidak pernah didatangi Dokter Flo adalah atap. Altair membawaku ke sana setelah pria tadi selesai mengambil map merah dan kembali ke ruang rawat inap yang dijadikan tempat operasi bongkar-pasang organ.

Sepanjang jalan Altair membantuku mengatur napas, jejeritan mulai terdengar horor dari sekeliling koridor. Bagian dalam rumah sakit ini memiliki taman mini pada lantai bawah, tepat di tengah-tengah bangunan, membuatnya tampak seperti donat kotak bila dilihat dari atas.

Saat kami melewati pintu kaca transparan, angin berembus menerbangkan helai rambut panjangku. Kemeja yang kukenakan ikut berkelepak menyapa desiran sepoi-sepoi.

Ruangan besar terbuka menyambut, sejenis ruang tunggu mungkin. Papan namanya sudah dilumuri karat dan sarang laba-laba tebal, tak membiarkanku membaca namanya. Kursi-kursi panjang berjajar memepet pada dinding, tak jauh berbeda kondisinya dengan papan nama, sementara pilar-pilar tinggi menyangga plafon ditempeli poster kusam tak terbaca.

"Kamu beneran hafal jalan, 'kan?" tanyaku memastikan, takut tersesat atau malah terjebak di sini selamanya jika lagi-lagi ditinggal Altair.

Yang kutanya mengangguk takzim. "Tenang, hafal kok. Cuma lupa-lupa dikit doang—"

Kakiku menepak mantap menjejaki kakinya. "Kutabok kamu!" desisku mengancam garang.

"Enggak, Ra! Hafal, masih hafal aku!" Setelahnya Altair mengaduh sambil berjingkat-jingkat mengibas kakinya di udara. "Omong-omong," ujarnya merangkulku, "aku cocok denganmu."

Keningku berkerut seketika, kami memasuki ruangan besar itu, mengambil lorong yang lebih terang dari sebelumnya. "Maksudnya?" Satu-satu kuperhatikan tiap belokan yang kami ambil, menghafal tempat ini perlahan.

Altair menuntunku berbelok, menuju pintu di pojok koridor. "Jarang aku mau ngomong banyak sama orang." Bahunya mendorong pintu berwarna merah mencolok itu. "Aku suka partner yang bisa diajak mikir."

Jika diingat-ingat lagi, aku belum pernah membantunya memikirkan sesuatu. Rencana barang kali, dia bahkan tidak pernah memberi tahuku sesuatu sebelum melakukan sesuatu.

Kami terus melangkah naik, terjebak dalam diamnya undakan anak tangga emergency exit. Baunya sedikit berbeda di sini ... lebih seperti barang baru dibuka, tetapi entah bagaimana memiliki bebauan amis di selanya. Entahlah, aku tidak tahu di mana sumber bau itu, rasanya menyebar ke segala arah.

Suara cekikikan tak kunjung reda sedari tadi, seakan menghantui kami di tiap langkah. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya, semenjak kami tiba di lantai tiga.

"Lantai tiga isinya apa?" Aku berhenti tepat di depan pintu merah. Jejeritan itu semakin kencang dan menggema di langit-langit ruangan.

Bulu kudukku berdiri menyambut angin dari ventilasi besar di atas sana yang menghempaskan rambut kami ke udara, membuat siulan-siulan menyeramkan seolah tempat ini memang berhantu bin angker. Perasaan aneh muncul dalam hatiku, mendorong untuk segera mengikuti Altair menaiki tangga memutar ke atas daripada penasaran dengan sesuatu menjerit di dalam sana.

Suara-suara ini tidak lebih kencang jika dibandingkan dengan gadis waktu itu. Terus saja kurapalkan dalam hati, bahwa hari masih terang, jam ponsel menunjukkan pukul setengah dua belas siang, dan tidak akan hantu berdarah-darah berkeliaran.

Altair tak kunjung menjawab pertanyaanku. Teman sebangku, partner ulangan harian itu sudah lenyap tak tahu ke mana saat aku sibuk memelototi pintu merah yang seolah memanggilku, menghasut untuk mendorongnya dan melihat sendiri apa yang ada di balik sana, juga suara-suara itu.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang