- Awal Dari Segalanya

811 141 67
                                    

Aku lupa orientasi akan waktu. Sudah berapa lama aku ditahan di sini, ingatan menolak untuk mengingat hal itu setelah serangkaian percobaan. Tidak ada jam, tidak ada matahari, bulan, bintang. Aku buta. Karena begitu netra ini terbuka, lagi dan lagi yang kulihat hanyalah kaca transparan yang menampakkan lorong legang tanpa sesiapa.

Tubuhku ditopang sabuk besi pada bagian pinggang, bahu, leher, betis, serta kedua alat gerak. Punggungku disandarkan pada besi tegak nan dingin, memaksa diri terus berdiri membiarkan rambut panjang tergerai ke depan tak terurus entah sampai kapan.

Tidak ada orang lain di sini, semuanya gelap. Hanya infus satu-satunya teman, selebihnya mereka semua mengerikan. Pinset, erlenmeyer, gunting, dan yang paling menakutkan adalah jarum suntik.

Terhitung sekiranya sepuluh menit setelah aku siuman dari pingsan yang entah keberapa kali. Ada sesuatu yang berbeda dari diriku yang biasanya, tetapi tenggorokan keburu tercekat di ujung epiglotis kala gumpalan darah keluar dari sana.

Kubiarkan saja rasa sakit menyerang paru-paru, mempersilakan darah mengucur begitu saja melewati blus toska-ku, membuat noda serupa air terjun di bawah dagu.

Perlahan rasa nyeri menjalari sekujur tubuhku, memberi sensasi panas terbakar dan dikuliti pada waktu bersamaan.

Tidak, aku tidak tahan lagi! Rahangku terbuka, menjerit sejadi-jadinya hingga kaca-kaca bergetar.

"SAKIT!!!" jeritku meronta, membuat alat-alat yang menyanggaku berderak sekali lagi.

Persetan memang semua peralatan ini! Yang kuinginkan hanyalah bebas dan keluar dari tempat ini! Aku mau keluar, aku mau bebas!!!

Dari ujung lorong sana, di sela isak tangis dan genangan air di pelupuk mata, samar-samar kulihat siluet putih berjalan ke arahku dari luar kaca transparan.

Tidak. Jangan dokter itu lagi! Tolong!

"LEPAS!!! AAAA!" teriakku melengking.

Siapa pun, tolong lepaskan aku! Tuhan, biarkan aku hidup damai! Biarkan aku lepas dari cekalan pria berjas putih yang kini memutar kunci ruanganku!

Dadaku dilanda euforia panik, tubuhku semakin panas lagi. Rasa terbakar itu berganti lebih parah lagi, sekujur tubuh ini rasanya digenggam erat-erat hingga remuk, lantas dimasukkan ke dalam kuali berisi minyak panas.

"JANGAN!"

Dokter itu semakin dekat dengan senyum manisnya. Aku muak! Siapa pun, jauhkan dia dariku!

"Hanya sebentar saja," ujarnya tenang, seperti saat-saat sebelumnya, dan aku tak lagi percaya.

"LEPASKAN AKU!" Tubuhku menggelinjang, bergerak heboh tidak mau disuntik.

Lelaki kisaran 35 tahun itu berdecak, "Diamlah sebentar!"

Namun, aku menolak. Tetap kuguncang kerangka tempatku disematkan. Kali ini aku tak akan menyerah! Ini kesempatanku, dokter itu tidak bisa berlari, dan pintu sel terbuka lebar untuk kulewati!

Masih menjerit-jerit, kuhempaskan kedua sikuku secara paksa, membuat besi-besi ini berderak hingga akhirnya jatuh bersamaku lantas berserakkan.

"Apa yang—"

Buru-buru aku bangkit, meski sempat tertatih. Sekali gerakan, suntikan infus di punggung tangan kiri kulepas. Dokter itu berusaha menangkapku, tetapi lebih dulu kudorong tubuhnya dengan meja perkakas ringan, lantas berlari tunggang langgang ke luar macam orang kesurupan.

Aku bebas. AKU BEBAS!

Tiap tikungan kulewati sambil berlari, menuruni banyak anak tangga, mengikuti petunjuk di langit-langit koridor untuk tiba di pintu keluar. Ada banyak orang-orang sepertiku, menjerit-jerit di sepanjang jalan, berhalangkan kaca transparan. Kami tampak seperti kelinci guling dalam etalase.

Sekuat mungkin, kudobrak sepasang pintu yang terkunci itu. Ini pintu yang akan mengeluarkanku dari penderitaan. Perlu setidaknya dua kali dorongan bahu untuk membuat daun pintu bersama kuncinya rusak dan terbuka.

Langit senja beserta semilir angin menyambutku. Namun, ini bukan kebebasan yang seutuhnya. Aku masih harus mencari jalan keluar, karena gedung tempatku diculik tadi dikelilingi tembok seng berkarat.

Aku berteriak sekeras-kerasnya, meraung-raung tidak jelas merayakan kebebasanku. Air mata tumpah ruah, terisak-isak di aspal, sekadar bersujud syukur akhirnya bisa keluar—

"AAAA!" Pita suaraku rasanya ingin putus kala sengatan listrik mengaliri setiap jengkal tubuhku.

Belum sempat aku berlari menerabas tembok seng, belum sempat kulihat siapa di balik semak itu, tubuh ini lebih dulu lunglai memeluk tanah.

Sakit, kalau kalian bertanya apa rasanya.

"Tidak semudah itu." Ketukan sepatu menyambutku, disertai wajah yang sejak tadi ingin kuhancurkan. "Ayo kembali dan ambil suntikanmu."

Netraku membelalak seketika. "Tidak ... TIDAK! TOLONG!" Aku meronta dalam cekalannya di kerah blus kotor. "SIAPA PUN TOLONG AKU DICULIK!" Air mataku kembali merembes, kali ini bahuku ketakutan.

Namun, seberapa kerasnya aku berteriak, tetap saja tidak akan ada yang mendengarnya.

Semuanya terlambat. Dokter gila itu sudah menyeretku kembali ke dalam kandangnya, menyuntikkan cairan yang sempat tertunda ke dalam tubuhku.

Siapa pun kalian, tolong!

~('-' 700 words '-')~D/E/U

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~('-' 700 words '-')~
D/E/U

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang