XIII. Lorong Berkelit

185 59 19
                                    

Selasa, 23 Januari 2018
—Adira

Pukul tujuh tepat, aku berlari seorang diri menyebrangi hutan tergesa-gesa. Ini sudah terlambat seperempat jam dari janji kami di ujung pintu keluar rumah sakit itu.

Seperti dugaanku, Altair sudah menunggu sambil bersedekap, bersandar pada salah satu pilar pendek tempat pagar tertanam. Dari jauh, yang kulihat hanya siluet saja, wajah anak itu sepertinya sudah tidak enak dipandang bersama ekspresinya.

"Lama amat," komentarnya.

Tuh, kan. "Nunggu ayah balik ke kantor. Raya ada kuliah malem, dan ibu urusan di rumah sakit tempat operasi nanti." Jantungku menggedor-gedor, tak keruan menyakiti pendengaranku sendiri. Bunyinya seperti bedug, dan aku berada di dalam rongganya saat itu dipukul kuat-kuat mau buka puasa.

Punggungku ikut menyandar di pilar yang sama, berusaha menutupi kedua telingaku. Semuanya sia-sia, aku malah semakin jelas mendengar debaran jantung sendiri. Aku bisa gila kalau lama-lama begini!

"Ayo kita lihat dari mana dokter itu keluar dan jalan pulang," ajak Altair merangkulku.

Kami berjalan bersisian, berteman dengan cahaya bulan purnama. Gelapnya sekitar membuat satelit bumi itu tampak bersinar lebih terang. Kami bahkan dapat melihat bayangan sendiri pada aspal.

Mendekati gedung utama, kutarik Altair sedikit memasuki hutan, bentuk antisipasi dari pada nekat ketahuan Dokter Flo. "Kamu belum liat dia keluar?"

Altair menggeleng. "Cuma ada dua jalan keluar dari sini. Salah satunya udah kita periksa barusan. Satunya lagi kurasa terlalu kecil buat masukin kendaraan. Sisanya sekeliling tempat ini nggak ada celah buat lompat." Kemeja biru dongkernya nyaris terbang, berkelepak santai mengikut arah angin.

Dia benar, Jumat kemarin Altair membawaku berkeliling dan celah keluar-masuk dinding seng hanya di bagian depan.

"Jadi, apa rencanamu?" Kini giliran lelaki itu yang bertanya padaku demikian. "Apapun itu, aku bakal percaya. Anggaplah aku nggak enak hati soal kemaren."

"Ga usah dibahas," sanggahku, "pertama ke basement dulu, mereka yang paling susah diselamatkan soalnya, sekalian ngambil tasku." Tubuh kami menyelinap di antara rapatnya pepohonan.

Jangkrik-jangkrik beterbangan, loncat-loncat sembari menggerakkan kakinya. Kalau kalian bertanya bagaimana pendengaranku saat ini, rasanya seperti ditusuk sebuah rambut kecil nan tajam. Geli, tetapi di saat bersamaan sakit macam disuntik.

Aku memilih duduk di depan lapangan luas. Dari sini kami bisa mengamati apapun. Jalur keluar ada di sebelah kiri, sementara Dokter Flo masih mendekam di gedung utama. Altair pun setuju, ini tempat yang strategis untuk menguntit seseorang.

"Kamu ga bawa motor?" tanyaku teringat sesuatu, dan dia menggeleng. "Bagus, kita cuma punya waktu sembilan jam untuk melepas semua pasien, membawa mereka ke kantor polisi sebagai bukti yang paling kuat, lalu menyusun rencana penangkapan Dokter Flo sebelum pukul empat dini hari."

Teman semejaku itu menyeringai di tengah kegelapan. "Bagus, kita sepemikiran. Tapi, kalo rencana kita gagal? Ini udah malem soalnya." Altair kembali menoleh, pandangannya menyapu pelataran rumah sakit tua ini, melewati air mancur mati dan aspal-aspal kerontang.

Mampu kudengar samar desing-desing knalpot dari jalan raya luar yang masih ramai di bawah langit terang. Tatkala tepak langkah semakin mendekat, kurangkul Altair untuk tiarap bersamaku dan menyatu dengan tanah.

Awalnya dia melotot tidak terima, menampakkan ekspresi kesal, menyiratkan kalimat, "Apaan sih, Dir?!" Namun, lima detik kemudian Altair paham apa maksudku.

Blunder #0 [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang