18. Crush

2.9K 170 35
                                    

Otaknya jangan treveling!

***

Hinata duduk di tepi ranjang sambil memeluk selimut yang membalut tubuh polosnya, mata kecoklatannya tertuju kea rah seprai dimana ada bercak sisa darah di atasnya. Iya, Hinata sudah kehilangan mahkota yang ia jaga sejak dulu dan bodohnya Hinata memberikan itu kepada lelaki yang bukan siapa-siapa di hidupnya. Menyesal? Untuk apa bukankah ini kemauan Hinata? Gadis itulah yang memancing sisi liar Naruto dengan sengaja hingga mereka berkahir seperti ini. Hinata tidak bisa menampik tubuhnya yang begitu menikmati apa yang Naruto lakukan padanya begitu pula hatinya, tapi ada satu titik dimana Hinata merasa bersalah dan sangat berdosa.

Dia punya calon suami lalu kenapa Hinata memberikan  keperawanannya pada Naruto? Betapa berdosanya dia. Hinata sudah menghianati janjinya pada Toneri.

Tak ada siapapun yang bisa di salahkan, ini semua karena kebodohan Hinata sendiri.

Pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Naruto yang berdiri dengan tubuh yang masih lembab usai mandi, sekarang pukul sepuluh pagi dan Naruto harus kembali ke rumah sakit. Tanggung jawabnya tidak bisa di tinggal begitu saja meski dalam hati dia sangat ingin menemani Hinata hingga rasa sakitnya reda.

“By, beneran gapapa aku tinggal?”  tanya Naruto, dia mendudukan diri di sebelah Hinata dan menggam tangan gadis itu. Hinata mengangguk lalu tersenyum pada Naruto.

“Ga papa sayang, ke rumah sakit itu udah tanggung jawab kamu.” Ujar Hinata sambil mengusap telapak tangan Naruto lembut.

“Tapi kan by-“

“Aku nggak papa sayang, kamu pergi aja ya? Inget, sumpahnya dokter kan?” tegas Hinata. Naruto mencebikkan bibirnya kesal lalu mengangguk, entah kenapa sekarang dia jadi sangat penurut terlebih jika itu berurusan dengan Hinata. Padahal Naruto bukanlah lelaki seperti itu, penurut dan lembut rasanya kata itu sangat asing di kamus kehidupan Naruto.  Tapi lihatlah sekarang, kehadiran Hinata seolah mematahkan semua presepsi buruk di kehidupan Naruto dengan sangat mudah.

“Yaudah kalau gitu, kamu baik-baik di rumah oke?”

“Iya, bawel ih.”

“Kalau ada apa-apa bilang sama Ayeme aja, Bunda udah di urus Ayeme dia tau kok jadi kamu gak usah ngurus Bunda dulu kamu istirahat-“
“Sayang-“

“Iya aku mau siap-siap, tapi kamu denger-“

“Sayang, udah mau jam sepuluh loh.”
Naruto menghela nafas pelan, “Iya-iya, cerewet banget sih.” Gerutu Naruto dia beranjak dari ranjang lalu menuju lemari untuk mengganti pakaiannya. Jangan tanyakan kemana kemejanya yang sudah rapih tadi pagi, karena kemeja itu sudah teronggok di lantai dengan keadaan kusut luar biasa. Siapa pelakunya? Tentu saja Hinata! Huh, wanita itu memang.

“Udah, aku berangkat. Jangan lu-“

“IYA SAYANG!!!” potong Hinata cepat saat melihat Naruto hendak menceramahinya lagi.

“Dih ngegas,”

“Bacot, buruan pergi!”

“Siap Ibu Negara!” Naruto mengecup dahi Hinata lembut lalu berbisik, “I love you, Ms, Namikaze. “ lalu pemuda itu berlari keluar sebelum Hinata sempat memberikan protesnya. Gadis itu merasakan pipinya memanas, entah kenapa hatinya begitu bahagia hanya karena sebaris kalimat yang Naruto ucapkan.
“I love you too, Naruto.”

***

Naruto berdiri tegap sambil bersedekap tangan di depan dada, pemuda tampan berdarah Jepang itu tengah menatap Toneri yang tertidur di atas ranjang dengan tatapan setajam elang yang sedang membidik mangsanya. Iya, Naruto sedang mengamati Toneri dalam diamnya. Pemuda itu tidak suka Toneri bangun tapi dia juga tidak suka menunggu terlalu lama untuk mengklaim Hinata menjadi miliknya seutuhnya. Dia tidak mau setiap dia menatap mata Hinata masih ada bayang-bayang Toneri di dalamnya, Naruto mau Hinata menjadi miliknya seutuhnya. Bukan hanya tubuh melainkan hatinya juga, mengetahui Hinata masih perawan ketika berhubungan sex dengannya membuat hati Naruto bahagia luar biasa tapi dia masih belum puas karena baginya Hinata masih mengharapkan Toneri.

Naruto belum sepenuhnya memenangkan Hinata, gadis itu bisa lepas dari genggamannya kapan saja. Dan Naruto belum punya cukup keberanian untuk membiarkan gadis itu memilih.

Apakah membiarkan Toneri tidur lebih lama adalah jalan terbaik? Mungkin untuk saat ini iya tapi apakah besok semua akan baik-baik saja.

Naruto tidak akan mengambil resiko kehilangan Hinata sekarang, dia mengambil suntik berisi cairan dari sakunya lagi lalu kembali menyuntikkannya ke selang infuse Toneri. “Maaf, tapi gue beneran sayang sama dia dan gak mau dia di ambil siapa aja termasuk lo.”

***

Hinata menyiapkan makan siang untuk Naruto meski susah payah, sebisa mungkin dia berjalan senormal mungkin karena selangkangnya masih sangat ngilu terlebih untuk berjalan terus menerus. Tapi dia harus menyiapkan ini, Hinata tidak mau Khusina curgia dan menanyainya aneh-aneh. Meski Khusina buta entah bagaimana wanita baya itu selalu tau bawa Hinata sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Hinata kamu masak apa cantik?” tanya Khusina yang baru saja datang dari kamar di antar Ayeme.

“Cuma nasi goreng Bun, buat Bunda sama Naruto nanti.” Jawab Hinata sekenanya, dia memindahkan nasinya yang sudah masak ke dalam piring untuk di sajikan. “Bunda mau makan di suapin Hinata enggak?” tanya Hinata sambil duduk di kursi makan sebelah Khusina.

“Emangnya kamu gak capek sayang?”

“Nggak Bunda, ayok Hinata suapin mumpung masih anget.” Bujuk Hinata, Khusina ahirnya mengangguk dan tersenyum.

“Yaudah ayok makan.” Ujar Khusina semangat, senyumnya sangat lebar meski tatapannya masih kosong seperti biasa. Hinata sudah cukup bahagia dengan itu, baginya Khusina benar-benar seperti sosok Ibu baginya. Berada di dekapan Khusina membuat gadis itu mengerti akan hangatnya pelukan seorang Ibu.

Hinata menyuapi Khusina dengan telaten. Gadis itu tidak melepaskan tatapannya sama sekali dari Khusina.

“Cie yang suap-suapan aku nggak di ajak, cie…”

Hinata menoleh saat mendengar suara Naruto memasuki ruang makan, gadis itu tersenyum lebar lalu melambaikan tangannya ke arah Naruto. “Kok cepet pulangnya? Sini, aku udah masakin nasi goreng buat kamu.” Ujar Hinata.

Naruto menggeleng lalu bersedekap tangan di depan dada, “Gak mau makan sendiri maunya di suapin.” Rajuk pemuda itu sambil mencebikkan bibirnya lucu.

Hinata tergelak pelan lalu menarik tangan pemuda itu hingga ia duduk di kursi, “Gak usah merajuk-merajuk kenapa? Nggak malu di liatin Bunda?” ujar Hinata sambil tertawa pelan, dia mengambilkan sendok untuk Naruto lalu menyusun makanannya. “Dah ayo makan.” Titiahnya.

Hinata meletakan piring yang ia pegang karena Khusina sudah selesai makan.

“Bunda balik ke kamar aja ya?” Khusina berdiri sambil meraba-raba sekitarnya, wanita baya itu berjalan ke arah ruang tamu sambil memanggil Ayeme tak berapa lama wanita itu datang menghampiri Khusina dan membawanya ke kamar.

“Loh Bunda mana??” Hinata mengerutkan keningnya heran karena Khusina tidak ada di sana padahal setaunya saat dia pergi Khusina masih ada di sana.

“Ke kamar.”

“Kamu biarin Bunda pergi sendiri?!” pekik Hinata heboh, dia hendak berlari ke kamar Khusina tapi Naruto mencegah pergelangan tangannya.

“Sama Ayeme, udah ih sini aja temenin aku makan.” Titah Naruto sambil menatap Hinata datar. Gadis itu mencebikkan bibirnya sambil menggerutu pelan.

“Manja banget jadi cowok.”

“I can hear you, sweety..”

Di tengah kegiatan makan mereka berdua tiba-tiba ponsel Hinata berdering dan panggilan itu berasal dari rumah sakit. Tanpa pikir panjang Hinata langsung mengangkatnya saat itu juga.  Naruto masih belum menyadarinya pemuda itu sibuk mengunyah makanan yang menurutnya punya cita rasa yang luar biasa.

Tapi setelah beberapa detik tiba-tiba Hinata menjatuhkan ponselnya dan membuat Naruto seketika menoleh. “By, kenapa?!” pemuda itu refleks berlari memutari meja dan memeluk kekasihnya karena raut wajah Hinata mendadak pucat pasi.

“Toneri, dia bangun yang..”

Dan detik dimana Hinata mengatakan itu, Naruto tersedak ludahnya sendiri hingga membaut dadanya sesak luar biasa.

“Brengsek.”

Next____

The Choice | Namikaze Naruto ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang