Tiada pernah bagi seseorang akan tahu apa yang akan terjadi pada hari esoknya ketika ia bangun tidur. Menyapa dunia yang membuatnya harus menelan ludah, menerima kenyataan bahwa begitu banyak misteri kehidupan.
Seperti halnya Asa. Pemuda itu berangkat sekolah dengan wajah yang tertekuk sempurna. Bahkan kedua temannya biasanya akan berusaha untuk membujuk dengan perihal kecil pun tiada jua menyuarakan suara. Paham bahwa suasana hati si bungsu sedang tak begitu baik.
Dalam pikirnya sendiri, Asa pun masih mencoba memahami. Ketika dirinya bangun dan disuguhkan dengan pandangan menyakitkan. Sang kakak tertua--Ardi, harus berpamit untuk pergi ke Sidoarjo seperti yang sudah diceritakannya semalam. Asa harap kakaknya bisa membatalkan kepergiannya, menunda beberapa hari ke depan, tetapi lagi-lagi egonya tak dapat dikedepankan.
"Kak Asa!" Pekikan dari seseorang membuat atensi Asa yang berjalan menuju kelas terpecah.
Terlihat tiga orang berbeda kelamin sedang berjalan menuju ke arahnya. Sembari membawa selembar kertas yang tidak diketahui isinya.
"Kak Asa ikut OSN juga, ya? Nanti ada jadwal bimbel, Kak. Sepulang sekolah sama pas istirahat kedua. Ditunggu di ruang baca, ya, Kak," ujar seorang gadis satu-satunya. Gadis itu anggun dengan hijab yang membalut wajahnya. Pun dua lelaki yang berada di sampingnya mengangguk.
Di tempat berdiri, Asa mengatupkan bibirnya rapat. Kedua alisnya hendak bertemu membuat kerutan tercetak jelas.
"Aku enggak ada daftar ikut OSN. Mana bisa otak dangkalku ikut begituan," jawab Asa tak percaya. Dengan segera langsung Asa tarik lembaran yang adik kelasnya bawa.
Beberapa menit Asa membaca rentetan aksara yang ada di kertas tersebut dan menemukan sepenggal namanya di urutan nomor dua dari enam siswa kelas sebelas yang juga terdaftar di sana.
"Eh, maaf, Sa. Lupa bilang. Kemarin pas absen emang dicariin sih sama guru bimbingan olim. Dan ditanyain kelas kita ada yang jadi perwakilan enggak, terus temen-temen pada ngajuin namamu."
"Punya temen masih muda kok pikun semua." Mendapati kejelasan dari Asun membuat anak itu sedikit memahami. "Emang jadwal OSN-nya kapan?"
"Lusa, Kak. Mendadak emang. Makanya langsung dipilih sama gurunya, selagi teman-teman kasih rekomendasi dan pengajuan diri, nanti istirahat kedua dibuat seleksi terus langsung latihan bahas soal-soalnya." Bukan si gadis lagi yang menjawab, melainkan lelaki dengan bertubuh gempal yang sedang membenahi dasinya di samping kiri sang gadis.
"Gilak kali, lusa lombanya? What? Enggak salah ini anak-anak ngajuin aku?" tanya Asa memandang kedua sahabatnya bergantian.
"Enggak. Kamu bisa, aku yakin," jawab Saddam penuh percaya diri.
Helaan napas panjang Asa udarakan. Melebur bersama hening yang tercipta beberapa detik berikutnya.
"Ya udah deh. Makasih buat kalian. Silakan, balik ke kelas lagi. Keburu bel nanti," ucap Asa kemudian diangguki oleh ketiga adik kelasnya. "Btw, yang ikut lomba semua kelas? Maksudnya enggak cuma kelas sepuluh sebelas doang, 'kan?"
"Enggak, Kak. Banyakan anak kelas sebelas sama dua belas sih kayaknya," jawab gadis berhijab tersebut seraya menerima sodoran kertas yang sempat berpindah tangan tadi.
"Kita pamit dulu, Kak. Permisi," pamit ketiga adik kelasnya.
"Hati-hati."
Setelah ketiga adik kelas benar-benar pergi, ia pun berjalan menuju kelasnya sendiri. Diikuti langkah Asun dan Saddam di belakangnya. Beberapa saat Asa berpikir, beberapa waktu lalu sang kakak juga pernah menyebutkan diri bahwa sedang sibuk dengan kegiatan OSN. Apakah nanti keduanya akan dipertemukan dalam sebuah saingan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Asa [Open PO]
Teen Fiction-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering Asa maki-maki capek, apa dia bisa bicara juga sama Asa kalau dia capek? Enggak, 'kan. Dia akan tetap diam dan tiba-tiba roboh pada waktunya...