8. Peran Mentari di Sore Hari

756 141 49
                                    

Ketika jika diberi pilihan sekian, orang sudah pasti akan jatuh pada pilihan yang mereka sayang, yang mereka prioritaskan, dan yang mendapat peran penting dalam hidupnya.

Bahkan tak banyak jua dari beberapa yang membenarkan hal ini dengan menyetujui pendapat mereka walau hanya dengan anggukan kepala. Pun dengan senyum tipis tanpa dari hati yang tulus.

Seharian penuh, Asa lakukan seperti biasanya. Bersekolah dan bertemu guru juga teman-temannya. Menuntut ilmu guna masa depan agar lebih mapan. Namun, siapa sangka di balik semua itu tersimpan rapi beban yang sedang ia miliki.

"Sa, mampir dulu apa gimana ini?" tanya Saddam ketika berhasil menghentikan laju motornya di sebuah perempatan.

"Sembarang sih. Mau ke mana aja. Yang penting jangan pulang dulu," jawab Asa dengan tatapan yang tak beralih dari jalanan. Jalan yang dilewatinya terlihat padat. Beberapa orang banyak berlalu lalang di trotoar yang tersedia.

Pemuda kecil yang sedari tadi duduk di kursi penumpang menghela napas panjang. Lantas melirik ke arah ponsel dalam genggaman tangan kirinya sebentar. Mendapati waktu di layar gawai tersebut masih menunjukkan pada angka 16.38 WIB. Tepat setengah jam lebih delapan menit dari jam pulangnya. Dan, setengah jam tersebut digunakan untuk melipir ke ruang OSIS bertemu dengan teman kerjanya. Membahas hal-hal penting sampai tidak terlalu penting seperti kucing Pak RT yang sedang lahiran tanpa diketahui suaminya, menghasilkan anak yang tanpa diketahui siapa bapaknya. Walaupun begitu, Asa menikmatinya.

"Ke waduk baru di sebelah komplek perumahan, mau?" Kali ini berganti Asun yang berucap. Memposisikan motornya tepat di motor Saddam.

"Sejak kapan komplek kamu ada waduknya? Kok aku enggak tahu, padahal komplek kita cuma beda blok doang." Asa memasukkan ponselnya ke dalam saku baju dan menautkan alisnya sebentar.

"Udah lama sih. Cuma, ya, lupa aja mau bilang. Udah beberapa ke sana juga sih. Iya enggak, Dam?"

Di tempatnya duduk, Asa langsung memasang wajah cemberut. "Ih, enggak asik. Aku enggak diajak," gerutunya pelan.

"Lha ini mau ngajak," jawab Asun dengan kekehan kecil. "Jangan ngambek. Makin imut ntar."

Hampir saja Asa melayangkan pukulan pada satu temannya itu jika tidak mengingat dirinya sedang berada di atas motor. Kendaraan itu sudah mulai berjalan dari pemberhentian lampu merah. Secara sadar, Asa tidak ingin menganggu konsentrasi sahabat tertuanya itu dengan keributan yang memecah fokusnya pada jalanan.

"Serah." Satu kata itu mewakili hati Asa. Terlanjur dongkol, bukannya diberi bujukan malah dibalas ejekan.

Di depan, Saddam tersenyum tipis melihat bagaimana sahabat bungsunya diganggu oleh Asun. Tak tega juga bila anak itu yang terus-terusan mendapati serangan gangguan, kemudian kesal bukan main hingga menimbulkan kemarahan dari si bungsu.

Sepuluh menit hanya terisi oleh suara roda bergesekan dengan aspal sampai di tujuan yang Asun ucapkan tadi. Dengan raut kesal yang masih kentara, Asa lebih dulu turun tanpa mendengarkan seruan kedua sahabatnya.

Mata bulat si bungsu memicing, mendapati sebuah waduk yang berada di depan matanya. Segelintir pengunjung pun ada di sana. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya.

Di ufuk barat, senja mulai terlihat akan terbit. Matahari bersinar yang tadinya panas menyengat kembali berganti dengan suasana menghangat. Asa menarik kurva senyuman tipis, melupakan rasa kesal yang tadi membumbung tinggi selama perjalanan. Tangannya sibuk mencari ponsel di dalam tas lantas meliarkan pandangan guna mencari objek yang pas.

"Fotoin! Yang estetik tapi," perintahnya begitu melihat kedua sahabatnya sampai di hadapannya.

"Objek yang bagus enggak di sini. Coba deh ikut ke sana," jawab Asun seraya menunjuk bagian waduk yang terhalang oleh beberapa pohon besar.

Katakan Asa [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang