"Cukup, Yah! Ayah enggak bisa seenaknya gitu aja sama Adek. Adek itu darah daging Ayah sendiri, apa Ayah lupa, ha?"
Suara lelaki itu menggema di penjuru ruang. Bahkan Asa hampir saja tak menyadari bahwa formasi keluarganya sudah lengkap. Ada pemuda lain yang datang dengan tergesa, sampai tak sempat menaruh handuk usai mandi. Juga Mama yang terlihat bangun tidur kentara dari rautnya yang terlihat lesu.
"Kamu pulang cuma mau belain anak itu, Ardi? Kamu waras enggak sih? Anak itu udah bunuh adik Ayah. Adik satu-satunya Ayah dan yang paling Ayah sayangi. Kamu enggak tahu perasaan Ayah, Ardi. Ayah kecewa sama kamu!" sentak Ayah dengan kilatan memerah padam di kedua matanya. Tanpa aba-aba Ayah bergerak maju lantas menarik tangan Asa.
Bocah yang belum siap akan tarikan hampir saja terjungkal bila tidak ada tangan besar kakak tertuanya yang menahannya.
"Mau Ayah bawa ke mana Adik aku?"
Pertanyaan dari Ardi sontak membuat Ayah berbalik dan berdecih kasar. "Lepasin, Di!"
"Yah. Ayah itu lebih dewasa daripada Asa. Aku rasa Ayah yang harusnya ngerti di posisi seperti ini. Bahkan Asa enggak pernah mau kalau ada di posisi terjepit waktu itu. Apa Ayah ngerti, ha? Om Faris itu meninggal emang udah takdir dari Allah, Yah. Itu qadarullah, Ayah enggak bisa ngelak!"
"Cukup, Ardi! Selama itu kamu enggak di rumah, dan pulang-pulang cuma mau debat sama Ayah? Kamu sadar apa enggak sih?"
Atensi Ardi jatuh pada wanita yang berdiri tak jauh darinya. Ia terkekeh sebentar lantas menyeringai buas, saat mendengar ucapan Mama barusan.
"Ardi rasa Mama yang enggak waras di sini. Sama kayak Ayah."
"Demi apa Abang berani ngebantah Mama sama Ayah demi anak itu, ha? Satria kecewa sama Abang," potong Satria cepat. Muak dengan perdebatan yang kian memanas walau hari masih terlalu pagi. Pemuda itu dengan decakan kasar lantas pergi mengabaikan teriakan Mama yang memintanya untuk bertahan di tempat. "Awas kowe, Sa."
"Lihat, adik kamu aja kecewa apalagi Ayah? Ayah harap ini yang terakhir, dan buat kamu!" Ayah menunjuk ke arah Asa yang tengah menunduk. "Selamat. Pagi ini kamu telah membuat keluarga saya berantakan."
Setelah berucap demikian, Ayah meninggalkan tempat tanpa berpamit. Tinggallah Mama, Ardi, dan Asa yang masih bergeming di tempatnya.
Sejenak, Mama mengambil napas dalam lantas mendekati anak sulungnya. "Kamu udah dewasa. Mama yakin kamu juga akan mengerti kenapa Ayah seperti ini, Ardi," ucap Mama mendekat. Namun, Ardi hanya memutar bola matanya malas.
"Lucu, Ma. Mama enggak sadar? Sampai kapan Mama akan seperti ini? Lambat laun semua pasti akan terkuak. Ardi yakin," jawab Ardi lantas berjongkok menangkup wajah adik bungsunya sejenak, lalu menatap wajah Mama yang berdiri sudah berdiri di sebelahnya.
"Apa maksud kamu, Ar, bilang seperti ini?"
"Ardi rasa, Mama bakalan ngerti sendiri tanpa harus Ardi jelasin." Ardi bangkit, menarik lengan Asa yang masih bergeming tanpa suara.
Anak itu sungguh tiada pergerakan. Entah terlalu takut atau terkejut mendapat sambutan di pagi hari seperti ini. Sesampai di kamar berukuran luas, Ardi menuntun Asa untuk duduk. Menutup rapat pintu kamar dan mengambil alih tempat di samping sang adik.
"Semalam kamu ke mana? Abang tungguin padahal," ucap Ardi memecah keheningan.
Beberapa detik, hanya angin yang berembus tenang. Asa pun tiada bisa untuk melontarkan jawaban. Masih terlalu kalut mendapati wajah emosi milik ayahnya beberapa saat lalu. Bahkan kedua tangannya masih bergetar, tetapi disembunyikan. Dirasa sang adik tak menjawab, Ardi pun menepuk pundak anak itu pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Asa [Open PO]
Fiksi Remaja-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering Asa maki-maki capek, apa dia bisa bicara juga sama Asa kalau dia capek? Enggak, 'kan. Dia akan tetap diam dan tiba-tiba roboh pada waktunya...