"Lah, Sa. Habis ngapain itu jidat sampai gitu? Nyungsep di mana? Untung gantengnya endak ilang."
Tawa Asa hampir meledak jika tidak mengingat untuk membuat keributan sedangkan di samping kelasnya ada beberapa orang yang sedang sibuk.
"Ini?" Asa hanya memastikan dengan menunjuk ke arah luka yang ada di dahinya dan menatap temannya. "Nyungsep ndek prapatan omah."
"Iso-iso ae, cah cilik iki," jawab temannya menggelengkan kepala. "Tapi, enggak apa-apa, 'kan? Enggak gegar otak, 'kan?"
"Astaghfirullah. Ya, enggaklah. Buktinya aku sehat wal afiat gini. Masa dibilang gegar otak. Yang ada aku di rumah sakit kali."
"Eh, iya juga ya. Bisa aja si bocah emang," timpal salah satu temannya yang duduk di bangku paling depan.
Tawa kecil Asa menguar bersamaan dengan beberapa teman lainnya. Begitu topik pembicaraan mereka habis, Asa berjalan menuju loker yang berada di belakang kelas. Mengambil satu note kecil penting yang selalu ia simpan rapi di sana. Tanpa membawanya pulang atau pun pergi ke mana.
Senyum tipis kembali terbit. Sangat tipis sekali. Lantas dengan cepat Asa mengunci lokernya dan beranjak ke tempat duduknya.
Anak itu melepas almamater OSIS dan menyampirkannya di kursi.
"Loh, enggak tugas, Sa?"
Atensi Asa beralih pada salah satu temannya yang baru datang dan berjalan menuju bangku di depannya. Menggeleng kecil Asa sebagai jawaban. "Enggak. Kata Bang Adam suruh istirahat dulu. Lebay emang dia."
Setengah mengangguk, temannya itu pun mengerti. "Kalau gitu duduk bareng, ya? Bangku Asun kosong. Mau aku yang ke bangkunya Saddam apa kamu ke depan?"
"Jingga yang ke bangkunya Bang Adam boleh?" Asa bertanya hati-hati. Mengingat watak pemuda bernama Semburat Jingga Sunarya itu sebelas dua belas dengan Saddam membuat Asa sedikit takut bila nanti tersinggung.
"Ya enggak apa-apa, Sa. Bangku mana aja juga boleh kok."
Begitu Jingga mengambil tempat duduk di sebelahnya, Asa tersenyum kikuk. Temannya itu mulai sibuk dengan makanan yang tadi dibawa dari kantin, pikirnya.
"Mau, Sa?" tawar Jingga yang dibalas oleh gelengan kecil.
"Makasih. Asa enggak laper, hehe. Ntar siangan aja sekalian minum obat," jawab Asa.
Sedangkan Jingga hanya mengangguk lalu kembali fokus ke makanannya. Satu tangannya pun kini berganti merogoh saku celana lantas mengambil ponsel dan mencari kesibukan sendiri.
Di tempat duduknya, Asa membuka lembaran demi lembaran yang terdapat di note kecil tadi. Membiarkan hening melingkupi dimensi dirinya dan juga Jingga.
Jika biasanya Asa akan memiliki topik untuk mengawali, maka kali ini semuanya berganti. Bahkan anak itu merasakan canggung yang luar biasa berkobar dalam dada.
Sesekali bibirnya meringis ketika kepalanya berdenyut nyeri. Sadar jika memang langkah yang diambil oleh Saddam beberapa waktu lalu itu membuatnya berada di posisi yang terbaik.
"Sakit, Sa?"
Pertanyaan Jingga membuat Asa terkejut. Dengan cepat ia menggeleng. "Enggak sih. Cuma perih dikit. Padahal dari semalam juga enggak kerasa sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Asa [Open PO]
Roman pour Adolescents-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering Asa maki-maki capek, apa dia bisa bicara juga sama Asa kalau dia capek? Enggak, 'kan. Dia akan tetap diam dan tiba-tiba roboh pada waktunya...