4. Semisal Aku Serta Waktu

1.1K 170 125
                                    

Angin malam terkadang menjadi candu untuk beberapa orang penikmat malam. Embusannya yang tenang serta menenangkan. Melepas sejenak beban penuh dalam dada.

Tiada pernah orang mengetahui tentang bagaimana kisah yang sebenarnya jika tokohnya tak bercerita. Namun, kali ini seroang pemuda tengah duduk di balkon kamar. Menggenggam beberapa kertas dan buku-buku yang berserakan di mana-mana.

Tatapannya lurus ke depan. Kosong tanpa tujuan. Langit malam mengingatkan bahwa ada banyak beban yang ingin ia buang. Teringat bagaimana kata orang di luar sana tentang seseorang yang terus berputar di otak. Bagaimana cara mengambil sikap dan tidak terlalu antusias dengan perkataan orang-orang.

"Eh, Ga. Aku denger adekmu masuk milih masuk MAN, ya, ngikutin ngikutin jalanmu ataupun Bang Ardi. Yaelah, Ga, adek enggak guna kek gitu buang aja deh."

"Kalau aku sih wegah, ya, punya adek enggak guna kayak Asa. Udah penyakitan, enggak berpendidikan pula."

"Sering keluar malem kali, ngepil, ngobat, ndugem. Makanya rusak."

"Ya Allah, Alga. Kasian banget sih kamu punya adek satu kok kayak gitu. Demi apapun kalau jadi aku udah aku balikin lagi ke perutnya Emak deh. Enggak guna banget asli. Untung enggak punya adek."

Embusan napas panjang Satria lakukan. Mengusir gusar dalam hati sangat sulit sekali. Entah mengapa kata-kata orang di luar sana memenuhi isi kepala. Menyiksa hingga tiada bisa ia lakukan selain berdiam diri sejenak sembari menikmatinya.

"Adik kamu itu pembunuh. Gara-gara dia Om Faris meninggal."

"Dia itu anak pembawa sial!"

"HARUSNYA DIA TIDAK DILAHIRKAN KALAU CUMA MEMBAWA SIAL. DIA ITU PEMBUNUH. P-E-M-B-U-N-U-H!"

Dari sekian banyak jawaban, selalu suara lantang milik keluarga yang menjadi bagian pelengkap dari memori kelam sebelumnya. Entah itu suara Ayah ataupun Mama yang berteriak lantang di depannya. Tanpa peduli sang adik tertunduk dalam dengan tubuh yang bergetar. Lelehan air mata membuat kedua mata itu memerah.

Mengapa harus Asa yang sedang dipertaruhkan dengan kepercayaannya. Ketika si kecil begitu aktif, menurut Satria dia hanya anak polos yang tidak tahu apa-apa. Namun, setelah teriakan lantang Mama menusuk kedua telinga Satria, detik itu sorot lembut yang ada di dalam dirinya berganti dengan ketajaman yang selalu siap membunuh kapan saja.

Bahkan untuk rasa percaya yang diagungkan untuk sang adik akan tetap kalah dengan suara lantang Mama yang lebih ia percaya. Ibu mana yang akan berani membohongi anaknya sendiri. Jadi, Satria rasa si kecil yang begitu polos itu bisa melakukan hal keji yang tidak pernah ia ketahui.

Pyarr!

Brukk!

Bola mata Satria melebar mendengar sesuatu berdentum dengan keras dari luar kamar. Membuat lamunan yang sedari tadi dibangun rapi melebur dengan cepat sekali. Kedua tungkai Satria langsung berjalan tegas setelah meletakkan buku-buku dan kertas latihan OSN-nya di meja belajar. Mengambil langkah untuk melihat ada apa yang terjadi di luar kamarnya.

Baru saja akan menuruni anak tangga, tetapi tungkainya mendadak berhenti. Atensinya tertuju pada tubuh kecil seseorang yang sedang tersungkur di samping meja dengan pecahan gelas kaca yang berserakan di mana-mana. Bahkan Satria bisa menebak sisa-sisa kopi Ayah yang belum diminum itu masih mengepul asapnya.

Tubuhnya membeku di tempat. Lidahnya kelu untuk menyuarakan suara, membiarkan kedua matanya telanjang bulat melihat bagaimana kemarahan Ayah kepada adiknya.

Katakan Asa [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang