Hari silih berganti. Seminggu sudah kegiatan padat milik Asa usai. Mulai dari menyapa dan juga memberikan arahan kepada adik-adik kelas barunya. Menjadi pembimbing mereka di hari awal duduk di bangku menengah atas.
Setengah dari kegiatan diisi dengan begitu banyak canda dan tawa. Setengah dari kegiatannya diisi dengan awal pendekatan yang diterima dengan baik bagi mereka.
Dua jam pelajaran pertama, Asa duduk manis menatap seorang bapak-bapak berkisar umur tiga puluhan sedang menjelaskan pelajaran di kelas. Namun, minat anak itu seketika menghilang dengan tugas yang ditulis besar di papan tulis.
"Harus banget emang, ya, buat begituan?" gumam Asa lirih.
Decakan kesal menguar begitu saja tatkala bapak guru tersebut beranjak dari tempatnya duduk. Mengucap salam dan memberi tahu jika pertemuan berikutnya beliau tidak mau tahu harus terkumpul semua tugasnya.
"Bapak akhiri, was-salamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Jangan lupa, kalau kalian tidak tahu bagaimana silsilah keluarga kalian, bisa ditanyakan ke orang tuanya. Semangat! Selamat bertemu di Minggu depan. Yang penyusunan silsilahnya paling unik, Bapak kasih hadiah."
Begitu ucapan sang guru rampung, Asa menghela napas di tempat. Langsung meletakkan kepalanya di atas meja dengan lesu.
'Boro-boro tanya orang tua. Belom tanya aja pasti disemprot duluan.' batin Asa diikuti decakan kesal.
Wajah anak itu tertekuk sempurna. Namun, sayang tertutupi oleh kedua tangannya di atas meja.
"Lah, ngapa si Asa?" tanya Asun setelah membalikkan kursinya menghadap ke belakang. Berhadapan langsung dengan Saddam yang masih asyik menulis materi tadi, dan juga Asa yang sepertinya sudah menyelam dalam mimpi.
Sedangkan di tempat, Saddam hanya mengendikkan bahu tidak tahu. Lalu kembali fokus pada buku tebal yang ada di depannya.
"Punya temen gini amat sih," gerutu Asun lantas membalikkan tubuhnya kembali.
Tak lama setelahnya, seorang wanita paruh baya datang dengan buku-buku tebal dengan senyuman. Parasnya yang jelita membuat beberapa anak di kelas tersebut berdecak kagum sekaligus melempar sedikit godaan.
Ibu guru cantik tersebut meletakkan buku-buku tebal tersebut di atas meja lantas menanggapi godaan dari muridnya dengan senyuman tipis.
"Sebelum saya mulai ... Bu Alya minta untuk ketua kelas dan wakilnya bisa ke depan terlebih dahulu untuk membagikan buku paket Antropologinya. Karena hari ini kita langsung membahas materi utama kita. Ayo, ketua dan wakilnya segera maju ke depan!"
Mendengar seruan lantang dari gurunya, Asa pun kembali menegakkan tubuh. Sebelum bangkit dengan langkah gontai.
"Tumben, Sa, mukamu gitu? Abis ngapain? Masih pagi loh ini. Ada yang bully kamu apa?" Bu Alya memindahkan beberapa tumpukan buku paket tersebut ke tangan Asa selaku ketua di kelas sebelas bahasa.
Mendapati muridnya terlihat tidak semangat, Bu Alya sendiri terlampau peka dan mengajukan pertanyaan demikian. Walaupun beliau tahu tidak akan mudah bertanya dengan anak didiknya yang sudah dikenalinya sejak satu tahun lalu itu.
"Enggak ada yang bully saya, Bu. Cuma lagi kurang semangat aja, soalnya Bang Sunnah enggak jadi traktir saya," jawab Asa sekenanya.
Merasa namanya dibawa-bawa, Asun yang duduk rapi di bangku melotot tak terima. "Heh, bocah! Siapa juga yang mau traktirin lo, yang ada Saddam tuh. Secara dia 'kan abis jadian," pungkas cepat Asun dari tempat.
"Hah? Adam jadian sama siapa? Inget loh, ya! Selama di lingkungan madrasah, tidak diperkenankan untuk berpacaran. Jika kalian nekat, akan langsung dinikahkan sama bapak kepala sekolah di depan seluruh warga madrasah. Kalian mau?" peringat Bu Alya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Asa [Open PO]
Teen Fiction-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering Asa maki-maki capek, apa dia bisa bicara juga sama Asa kalau dia capek? Enggak, 'kan. Dia akan tetap diam dan tiba-tiba roboh pada waktunya...