16. Sederhananya Cerita Bersama

812 112 12
                                    

Usai menghabiskan waktu seharian di rumah. Menemani sang kakak yang terlihat begitu sibuk. Padahal Asa yakin kakaknya sengaja singgah sebentar untuk melepas penat, mengapa malah yang dilihat berkebalikan.

"Abang enggak capek madep gitu mulu?" Dengan telunjuknya, Asa arahkan pada setumpuk kertas yang tidak dimengertinya. Pun, diletakkannya secangkir kopi di meja dan mengambil duduk di kursi yang tersedia.

"Enggak dong. 'Kan, Abang kerja juga nanti buat nyangoni kamu," jawab Ardi tanpa mengalihkan perhatiannya. "Eh, btw. Udah enakan apa? Hampir Abang seret kamu ke RS pas tahu demam tinggi gitu. Ngapain aja sih? Padahal enggak ngapa-ngapain juga."

"Mulai cerewetnya." Asa mengehela napas panjang, lalu memeluk nampan yang tadi digunakannya membawa kopi milik sang kakak.

"Abang khawatir loh, Sa. Besok pagi Abang Sidoarjo, ada proyek baru. Tiga mingguan, paling baru bisa pulang. Libur cuma tiga hari, berangkat lagi ke Bandung. Kamu enggak apa-apa Abang tinggal pergi?"

Hampir Asa tersedak ludahnya sendiri, tetapi anak itu justru tertawa lebar.

"Sehat, Sa?"

"Lucu deh. Asa udah biasa sendiri kali, Bang. Ngapa tanya gitu? Takut Asa mati? Atau ...."

Sorot mata Ardi mendadak tajam. Asa merasa jika ucapan yang dilemparnya merupakan sebuah kesalahan.

"Pisan engkas, lambemu tak kuncrit, Sa."

Detik berikutnya tawa Asa benar-benar meledak. Melihat ekspresi kesal milik Ardi yang jarang-jarang ia temui. Bahkan jika Asa membawa gawainya, pasti akan diabadikan untuk kebutuhan pansos. Mengingat beberapa kali ia pun mendengar ucapan demikian keluar dari bibir teman-temannya.

"Ngaib, yuk, Sa!"

Mulut Asa menganga, dahinya mengkerut tak mengerti. "Ngaib apa?"

"Biasa kebutuhan pansos."

Maka dari itu Asa pun jadi sering mengikuti gaya teman-temannya. Sedikit menghibur hati bila dirinya dirundung sepi. Mengingat bahwa kesehariannya pun tidak jauh dari kata sunyi.

"Ketawa aja terus. Sampai ayam jantan beranak," tukas Ardi mendapati adik bungsunya masih terkekeh di sebelahnya.

"Jarang-jarang Asa ketawa juga, 'kan? Emang enggak kangen? Jahat sih kalau Abang enggak kangen sama Asa."

Jitakan manis Ardi layangkan membuat empunya meringis. "Abang! Sakit."

"Kalau enggak kangen, Abang enggak pulang, Sa. Dua rius," jawab Ardi lantas membereskan pekerjaannya. "Main, yuk! Ke mana gitu, udah lama juga enggak keliling Kediri. Yuk! Abang traktir bakso nanti."

"Cih. Bakso cuma lima ribu gitu. Yang estetik gitu loh, Bang. Masa iya nanti kalau Abang kencan sama cewek gitu juga?"

"Masih kecil, fokus sekolah dulu. Sok tahu cewek pula," ejek Ardi langsung dihadiahi raut kesal si bungsu. "Beneran juga. Yuk, ke SLG apa ke mana kek. Yang penting keliling gitu, Sa. Ajak Asun sama Saddam juga seru tuh. Sekalian mau wawancara kali aja kamu bandel kalau lagi sendiri."

Mau tak mau Asa pun mengangguk pasrah. Lantas menengadahkan tangannya ke arah Ardi. "HP Abang mana?"

Tanpa banyak tanya, Ardi pun langsung memberikan ponsel miliknya pada sang adik. Paham jika anak itu sedang butuh untuk segera menghubungi kedua temannya. Padahal Ardi tahu ponsel milik Asa pun sedang menganggur di dalam saku celananya. Namun, Ardi tak ambil pusing. Pikirnya, Asa mungkin sedang kehabisan pulsa atau paket internet. Bila perlu nanti sebelum berkeliling akan diajaknya untuk pergi ke konter untuk membelikan sang adik pulsa.

Katakan Asa [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang