Malam terasa kian mencekam, padahal hujan sudah reda sejak tadi. Tidak ada lagi alunan rinainya yang menemani aktivitas malam hari. Berganti dengan embusan angin yang menenangkan, meski dingin kembali membalut tubuh para manusia.
"Bang Sunnah, pulang yuk!" ajak Asa sembari membalikkan tubuhnya menghadap temannya yang duduk di sofa sejauh dua meter darinya.
"Ntar, ngenteni Saddam balik. Tidur aja kenapa sih, Sa? Heran aku," jawab Asun menahan kesal. Lantas berdiri dari duduknya dan mendekati Asa. "Merem! Tak lem matamu, biar enggak bisa buka lagi."
"Kejam."
Dengkusan kesal menguar dari bibir mungil Asa. Tangannya dengan cepat menarik selimut hingga membungkus rapat tubuhnya. Menutup hingga kepalanya tak terlihat. Namun, tidak lama setelahnya tangan besar Asun menarik selimut tersebut.
"Nesuan. Bocah-bocah," ejeknya pelan.
"Ngeselin, sih. Siapa suruh ngeselin? Pergi sana, hih, punya nyesek amat temen model ginian," sahut Asa lantas membalikkan badan, memunggungi Asun dan menatap ke arah tirai yang terbuka.
Hampir dua jam ia hanya berbaring di atas ranjang pesakitan. Jam di dinding menunjukkan pukul hampir sepuluh malam. Mungkin jika ia memutuskan untuk kabur dan pulang ke rumah, yang ada Ayahnya pasti akan murka.
Ceklek ....
Terdengar langkah kaki mendekat, Asa pun kembali membalikkan tubuhnya. Menatap pemuda tinggi berjalan dengan membawa paper bag entah apa isinya.
"Makan dulu. Tadi di rumah Mami juga cuma kemasukan sup berapa sendok, hm?"
Rasa malas membuat Asa menghela napas panjang. "Pulang!"
Bukan kata-kata yang ingin kedua pemuda tersebut dengar dari bibir Asa.
"Ntar nunggu dokter dulu, Sa. Enggak sabar banget deh." Asun mengeluarkan beberapa makanan yang dibeli oleh Saddam dari paper bag dan meletakkannya di atas nakas.
"Lagian ngapain ke sini, tahu gitu mending tadi langsung pulang ke rumah Bang Adam aja. Tau, ah, ngeselin semua," sela Asa dengan nada memelas.
"Enggak capek, Sa, ngomel mulu dari tadi?"
Pertanyaan dari Saddam membuat anak itu mencibir di tempat. Mencebikkan bibir dan mengalihkan pandangan.
"Dimakan!"
Suara Asun membuat Asa berjengit kaget. Bagaimana tidak, tangannya ditarik dan dipaksa menerima makanan yang cukup panas. Tuh, kan, ngeselin lagi.
"Kalau sehat, Asa balas kalian." Sudah terlampau kesal, Asa memalingkan muka. Enggan menatap kedua sahabatnya yang terkekeh di tempat.
Perlahan, Asa menyendokkan makanan ke dalam mulutnya setelah beberapa kali meniupnya. Sehingga tidak terlalu panas. Atensinya kini tertuju pada jendela yang terbuka lebar. Memperlihatkan bagaimana suasana malam di Kediri yang tak begitu ramai juga tak pernah sepi.
Sekilas, ingatan beberapa tahun silam kembali merusak suasana. Berputar seperti kaset rusak dalam otaknya. Berkelana bebas padahal ia melarang keras.
Beberapa saat, Asa terdiam menikmati semua kenangan-kenangan yang bermunculan dalam pikiran. Jika dipikir memang, ia suka terhadap apa yang dilakukannya semasa kecil. Namun, sekarang menjadi kebalikannya.
"Asa! Hujan loh, masuk! Nanti kamu sakit."
Pekikan lantang nan berat tak jua Asa kecil indahkan. Bahkan anak seusia lima tahun tersebut malah berlarian mengitari taman kecil di sudut rumah dengan membawa mainan perahunya. Tangannya sibuk menengadah pada tetesan hujan yang amat deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Asa [Open PO]
Novela Juvenil-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering Asa maki-maki capek, apa dia bisa bicara juga sama Asa kalau dia capek? Enggak, 'kan. Dia akan tetap diam dan tiba-tiba roboh pada waktunya...