Lusa yang Asa nantikan benar-benar datang di depan mata. Segenap jiwa ia gunakan untuk bertempur dengan soal-soal penuh kerumitan nantinya.
Belum apa-apa Asa rasa dirinya sudah gugup. Bahkan baru saja pembimbing yang menemaninya beberapa hari ini pun menangkap gurat kecanggungan pada anak didiknya. Seperti Asa misalnya.
"Gugup banget kamu, Le?" tanya seorang wanita paruh baya yang mendekat membawa beberapa kartu pengenal, lantas dibagi ke sejumlah peserta yang mengikuti kegiatan tersebut.
Tiada ingin menunjukkan kebohongan, Asa tersenyum tipis menanggapi tanya tersebut. Merapikan almamater yang melekat di tubuh lantas mengenakan segera kartu pengenalnya.
"Kelihatan apa, Bu?"
"Ya enggak sih, Sa. Udah, yuk siap-siap. Lima menit lagi Pak Doni datang ... buat yang sudah mendapatkan kartu peserta, bisa langsung bersiap diri. Tidak harus menang, yang penting kalian berjuang dengan baik. Menang itu bonus dari Allah. Berdoa banyak-banyak sebelum mengerjakan soalnya, paham?" Wanita penyandang pembimbing beberapa jenis olimpiade di MAN 4 itu meneriaki kurang lebih delapan anak didik terbaiknya.
Awalnya mereka akan berangkat dengan siswa sejumlah lima belas. Namun, ternyata sesudah seleksi diadakan, delapan dari lima belas itu bertahan. Membuat delapan peserta dari tiga tingkatan yang berbeda harus menyiapkan mentalnya.
"Kak Asa gugup banget, tenang aja kenapa sih, Kak," ucap seorang gadis yang baru saja sampai di depan Asa. Gadis itu adalah gadis yang sama dengan yang menghampirinya beberapa hari lalu.
"Kelihat banget apa ya? Padahal enggak," jawab Asa merekahkan senyumnya.
"Beneran, Kak. Sampe pucat gitu. Tanya aja sama Bilal coba." Gadis itu menarik almamater temannya yang berdiri membelakangi keduanya. "Lal! Kak Asa kelihat gugup banget, kan, ya? Kek mau ketemu rentenir aja."
Sontak tawa Bilal meledak di detik berikutnya. "Iya, sih, Rin. Udah, jangan digodain Kak Asanya. Nanti marah, kamu dimutilasi sama Kak Asun sama Kak Saddam."
Jawaban dari Bilal, membuat Asa menggelengkan kepala. Merasa dua nama sahabatnya dibawa-bawa, tetapi tak tanggung-tanggung predikat menakutkan pun bersanding. "Kalian ngelihatnya Asun sama Saddam semenakutkan itu?"
"Ya, enggak sih, Kak. Orang kita juga baru di sini. Cuma ya, rungon-rungon, Kak. Banyak gitu anak OSIS yang pada takut kalau berurusan sama kedua teman Kak Asa itu," jawab Bilal penuh keyakinan. Sedangkan, gadis di sampingnya mengangguk ringan.
"Nanti aku bilangin ke temenku deh biar enggak masang muka garang gitu, ya?" Setengah menahan tawa, pada akhirnya kekehan kecil pun menguar. Melupakan rasa gugup di dadanya.
Bukanlah hal mudah bagi Asa melupakan seberkas memori semalam yang mampir di kepalanya tanpa persetujuan. Membuatnya hampir saja mengundurkan diri untuk tak ikut kompetisi, tetapi kedua sahabatnya—Asun dan Saddam—keduanya mengancam akan membeberkan rahasia yang sudah anak itu simpan rapat-rapat sendiri, termasuk dengan penyakitnya sekaligus.
"Pengen mundur masa. Enggak yakin aku ikut kompetisi gituan. Tahun lalu aja KSM itu juga cuma keberuntungan," ucap Asa meletakkan tasnya di sofa. Anak itu mampir ke rumah Asun usai kegiatan OSIS berlangsung.
"Dih, enggak percaya banget sama diri sendiri. Sekali-kali ikut begituan ngapa sih, Sa? Buktiin ke orang-orang kalau awakmu juga bisa kayak Bang Ardi sama Bang Satria. Jangan kira aku enggak tahu tentangmu selama ini, ha?"
Suara menggebu-gebu dari Asun membuat Asa semakin berdecak kasar. "Makanya itu aku enggak pengen apa-apa. Udah cukup gini aja enak kok. Ya, buat apa ikutan begituan kalau nilai-nilai sekolah enggak juga memuaskan. Payah sih, Sun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Asa [Open PO]
Teen Fiction-•| kalem bruuhhh |•- . "Kalau Asa capek, Asa bisa ngadu sama Tuhan. Tapi, kalau seumpama tembok yang sering Asa maki-maki capek, apa dia bisa bicara juga sama Asa kalau dia capek? Enggak, 'kan. Dia akan tetap diam dan tiba-tiba roboh pada waktunya...