enam belas

12 9 3
                                    

Haekal berjalan menuju ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haekal berjalan menuju ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih. Lelaki itu mengenakan pakaian yang amat rapi. Berharap akan dilirik oleh Dhea. Ia tersenyum semanis mungkin, sampai-sampai manisnya mengalahkan buah pare. Pesona Haekal benar-benar tidak ada tandingannya. Haekal sedikit menyesal akibat mencoba berjalan bak model yang berlenggak-lenggok di atas red carpet. Pergelangan kakinya tergelincir karena mencoba hal tersebut. Untung saja tidak ada yang melihatnya. Apaagi Dhea, bisa-bisa harga dirinya runtuh.

Sementara Erza, lelaki itu juga tak mau kalah. Ia masih asik bercermin di kamarnya. Erza mengenakan peci dengan bandrol harga yang  masih melekat. Ia tidak boleh kalah dengan Haekal kali ini. "Mas Erza! Lama amat, sih? Cepetan, dong, nanti keburu telat!" teriak Riana sembari menggedor pintu kamar Erza.

Erza berdecak, lantas menjawab, "Iya!" Lelaki itu segera membuka pintu kamarnya. "Ngapain, sih, pake teriak-teriak?"

"Salah siapa nggak keluar-keluar?" Riana salah fokus, ia malah melihat peci kakaknya yang terlihat masih baru. Bandrol harganya masih menempel di sana. "Itu pecinya baru, ya? Pasti mahal," ujar Riana.

Erza tersenyum miring. "Iyalah, mahal banget malahan." Lelaki itu jelas berbohong. Pecinya hanya berharga tiga puluh ribu, ia menambahkan satu digit angka nol, jadilah harganya menjadi tiga ratus ribu. Uangnya pun hasil dari berhutang pada Rudi sebelum ia pulang kampung.

"Kok aku nggak dibeliin kerudung, sih?" omel Riana.

"Nanti dibeliin."

Erza berjalan sembari mengelus-elus peci barunya, sekalian mencari keberadaan Dhea. Namun, kali ini tampaknya ia apes lagi. Lelaki itu malah bertemu dengan Haekal. Kenapa, sih, Haekal suka sekali muncul di hadapan Erza? "Lu bisa nggak, sih, jangan muncul di hadapan gue? Mata gue perih lihat lu tiap hari!" sentak Erza dengan mata melotot.

Haekal bersedekap. "Yang ada mata gue iritasi gara-gara lihat muka lu yang pas-pasan itu! Pindah aja lu sana, nggak usah pulang kampung lagi," usir Haekal.

"Kalian, kok, masih di sini?" tanya Dhea dengan lembut. Sontak, kedua lelaki yang sedang berseteru pun menoleh ke sumber suara.

"Eh, Dhea." Haekal menyapa Dhea dengan lembut. Nada suaranya menurun drastis. Berbeda ketika ia sedang mengobrol dengan Erza, pasti dia sudah tersulut emosi. Maklum saja, Erza memang semenjengkelkan itu. Kalau tidak ada Dhea di sini, mungkin Haekal sudah menyiram musuhnya itu dengan air got.

Erza kalah cepat dengan Haekal. Ini tidak bisa dibiarkan! "Dhea, kemarin aku beli peci, harganya lumayan mahal, soalnya aku beli di toko, bukan di pasar kayak Haekal. Kamu mau aku beliin kerudung di sana, nggak?" tawar Erza.

Jangan tanyakan ekspresi Haekal sekarang. Lelaki itu sudah memelototi Erza sedari tadi. Benar-benar minta dibuang ke jurang memang. Jutawan gadungan saja belagu, batinnya.

"Nggak usah, Er. Aku bisa beli sendiri, kok," tolak Dhea. "Ya udah, aku ke masjid dulu, ya." Dhea mulai berjalan, meninggalkan Erza dengan luka sayatan di hatinya. Sementara itu, Haekal mengikuti anak Pak Lurah dari belakang.

"Jutawan gadungan! Rasain, lu!" ejek Haekal.

***

Erza pulang dengan langkah gontai. Bad mood kini mulai menyerangnya. Entah kenapa ia merasa buruk sekarang. Mulai dari berseteru dengan Haekal, ditolak mentah-mentah oleh Dhea, sampai ia menyesal telah berbohong kepada keluarganya bahwa ia sudah menjadi orang kaya. Saat ini Erza tidak bisa berpikir jernih. Seluruh badannya ikut merasa pegal.

"Assalamualaikum," ucap Erza.

"Waalaikumsalam." Dewi menjawab dengan nada sedikit sinis. Tumben? Ada apa? "Ibu mau ngomong sama kamu."

Erza mengernyit, lantas bertanya, "mau ngomong apa, bu? Kayaknya serius banget?"

Dewi menunjukkan sebuah tiket bus ekonomi ke hadapan Erza. Lelaki itu pun sontak melotot tak percaya, bagaimana bisa ibunya menemukan tiket bus yang ia tumpangi tempo lalu? Gawat! Ini benar-benar gawat. Otak Erza sudah tidak bisa berpikir lagi. Ia sudah cukup lelah untuk beralibi. Apa ini waktu yang tepat untuk mengungkap semuanya?

"Ibu nemuin tiket bus ekonomi di kamar kamu. Katanya kamu naik pesawat?" ujar Dewi bingung.

"Eh, anu, Bu ... " Erza menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Telapak tangannya sudah mengeluarkan keringat dingin. Ia harus menjawab apa? Apakah ia harus mengaku sekarang? Kalau bisa Erza ingin lari ke laut saja kalau begini keadaannya.

"Mas, tadi handphone Mas Erza bunyi," ujar Riana memberi tahu.

"Dari siapa?"

"Kalau nggak salah tadi itu Rudi," jawab Riana enteng.

Mampus! Tamatlah riwayat Erza sekarang. Apakah Rudi menagih uangnya? Lalu Riana mendengarnya? Erza benar-benar merasa bingung. Pusing. Merana. Semua berkumpul menjadi satu untuk menyerang lelaki itu. Ragu-ragu Erza pun mulai bertanya, "dia bilang apa?"

Riana mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Pas aku mau angkat teleponnya udah mati duluan."

Syukurlah. Erza sedikit merasa tenang sekarang. Hanya sedikit. Pertanyaan dari ibunya sama sekali belum ia jawab. Ia benar-benar bingung mencari alasan. Pikirannya kalut.

"Erza! Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, loh," sentak Dewi mulai curiga.

Tenggorokan Erza mengering. Rasanya ingin sekali menelan es dawet, tapi itu tidak mungkin, kan? Jadi Erza memilih untuk menelan air liurnya saja. "Itu punya temen Erza, Bu. Ketinggalan pas mau pulang kampung." Hanya itu alasan yang Erza punya.

Dewi menyipitkan mata. "Kamu gerah apa gimana? Keringat kamu udah kayak air samudra."

"Eh, iya, Bu. Gerah banget. Erza mau ke kamar dulu, ya. Ngadem." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Erza pun berlari kecil menuju kamarnya. Ia menghela napas lega. Akhirnya bisa lolos dari pertanyaan mematikan itu.

Tak berbeda jauh dengan Erza, kini Haekal juga merasa buruk. Hidupnya selalu apes, tidak ada wanita yang menerimanya. Haekal sudah sangat tulus, tetapi penolakanlah yang sehari-hari ia dapatkan. Apa kurangnya Haekal dibanding laki-laki lain? Haekal sudah mempunyak tekad yang kuat dan tulus. Ia sama sekali tidak mempunyai panu, tetapi mengapa semua wanita tidak ada yang mau dengannya? Haekal sudah berkali-kali merasakan sakitnya patah hati, lama-lama ia semakin muak. Tapi apa boleh buat?

"Haekal, kapan kamu ajak calon mantu Ibu ke sini?" Suara itu membuat Haekal yang sedari tadi merenungkan keapesannya menoleh seketika. Sebetulnya ia tidak punya calon. Siapa pun yang mau mencalonkan diri, silakan datang ke rumah Haekal sekarang. Ia sangat membutuhkannya!

Haekal hanya mengengir. "Dia lagi sibuk sekarang, Bu. Kapan-kapan, deh, Haekal ajak main ke sini."

Arum tersenyum. "Udah ada rencana mau ke pelaminan apa belum, Kal?" tanya Arum lagi. Terkesan sedikit mendesak Haekal untuk segera menikah.

"Belum, Bu. Haekal mau cari uang dulu yang banyak. Baru, deh, nikah." Haekal tersenyum masam.

Calonnya saja belum ada, Bu.


Duhh ... Makin ruwet aja drama Haekal sama Erza ini. Gimana kalau nanti kita vote aja dulu?

WDT Academy Ramadhan [ Belphegor Group ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang