Sore itu Erza menyusuri lingkungan kampung dan memperhatikannya dengan saksama. Kali ini tanpa motor pinjaman kebanggaannya, dia lebih memilih berjalan kaki. Udara tak begitu panas. Sesekali dia bisa mencium bau masakan yang menyeruak dari rumah-rumah, pastilah mereka sedang menyiapkan makanan untuk berbuka nanti.
Kampung Panura tak banyak berubah sejak pertama kali Erza meninggalkannya untuk mencari kerja di perantauan. Hanya ada beberapa jalan yang mengalami perbaikan, lalu pembangunan jembatan dan rumah-rumah baru. Sisanya nyaris sama persis, termasuk deretan lokasi bermain favorit anak-anak. Seketika dia terpikir sesuatu. Kalau kampung ini tidak banyak berubah, mengapa dia harus menuntut dirinya sendiri untuk berubah pesat?
Pekerjaan Erza sebagai kurir ekspedisi sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk kehidupannya di kota. Hanya saja, untuk seorang anak sulung yang memikul harapan terbesar orang tua, upah yang dia dapatkan tentu tak ada artinya. Terlebih, Erza adalah penganut biarlah tekor yang penting kesohor. Sering kali dia membeli hal-hal—yang sebenarnya tidak diperlukan sama sekali—semata-mata untuk menunjukkan bahwa dirinya orang kaya. Yah, kadang Erza sendiri juga menyesalinya. Tapi penyesalan memang selalu terlambat, kan?
Setelah beberapa menit berjalan dengan pikiran yang melayang entah ke mana, Erza sampai di sebuah pos kamling di dekat jembatan menuju kampung sebelah. Matanya memelotot saat menyadari kehadiran makhluk yang duduk santai di sana. "Kenapa, sih, lo selalu ada ke mana pun gue pergi?!" bentaknya.
"Lo ngikutin gue, ya?!" Orang yang dibentak justru membentak balik.
"Mana ada! Gue ke sini buat ...." Erza menarik napas panjang, berusaha menurunkan gengsinya untuk mengakui alasannya berjalan-jalan hari ini. "Nyari angin," sambungnya nyaris tak terdengar.
"Ya udah, duduk aja di sini. Anginnya enak," sahut Haekal tanpa menoleh. Sengaja. Kalau dia menatap Erza saat mengatakannya, bisa-bisa muntah.
"Ogah banget gue duduk bareng sama lo!"
"Nggak usah gengsi, di sini nggak ada keluarga kita." Ucapan Haekal membuat Erza kembali memelotot. Seluruh darahnya seperti naik ke ubun-ubun. Setengah ingin berontak, setengah membenarkan. Setelah berupaya keras menurunkan gengsinya, dia duduk di sebelah Haekal.
"Prist op al, kalau lo ngira gue—"
"First of all, bukan prist op al. Belajar bahasa Inggris yang bener makanya," potong Haekal. Sejenak dia berbangga diri karena bisa mengucapkan bahasa Inggris dengan baik gara-gara sering menyebut nama-nama kosmetik. Nggak rugi lidah gue keserimpet selama ini, gumamnya.
Erza mengatupkan rahang. Ingin sekali dia menabok kepala Haekal agar dia menangis seperti saat kecil dulu. Sayangnya, sekarang si kampret itu bertubuh lebih tinggi. "Terserah. Pokoknya, apa yang lo pikirin tentang gengsi itu salah."
Alih-alih jawaban, yang terdengar dari Haekal hanyalah suara napas panjang dan gumaman tak jelas. Seperti mengiyakan, tapi setengah-setengah. Tampaknya, manusia itu masih tak percaya dengan ucapan Erza.
KAMU SEDANG MEMBACA
WDT Academy Ramadhan [ Belphegor Group ]
HumorSusah nggak masalah, yang penting sombong dulu! Menjadi anak perantauan, susah-susah gampang. Apalagi untuk Erza, laki-laki yang bertahan dengan menjadi kurir ekspedisi ketika di kota hanya hidup pas-pasan. Namun, gengsi orang tua membuat Erza terp...