duapuluh satu

4 3 0
                                    

Mungkin, karena banyak pikiran yang bersemayam di benak Erza, sudah beberapa hari ini pemuda itu tak mendapatkan tidur yang nyenyak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin, karena banyak pikiran yang bersemayam di benak Erza, sudah beberapa hari ini pemuda itu tak mendapatkan tidur yang nyenyak. Perlahan sinar mentari menyelundup ke kamarnya melalui celah-celah ventilasi kamar. Pagi ini tampak berbeda, sepertinya tanda-tanda malam lailatul qadar telah nampak pada pagi ini. Udara yang tidak dingin, tetapi juga tidak panas. Rasanya sejuk dan tentram.

Erza beranjak dari kasurnya dan membuka jendela kamar. Ia menatap sawah-sawah yang berada di sebrang rumahnya, membayangkan ketika ia kecil dahulu sering membantu sang ayah di sawah. Tipis-tipis ia mulai bernostalgia.

"Kamu kalau besar nanti, harus sukses ya."

Begitu perkataan Ayahnya yang melekat padanya hingga sekarang.

"Sukses enggak, jadi pembohong, iya," gumamnya lirih sambil melamun. Ia merasa bersalah ketika mengingat semua kebohongannya, hanya untuk sebuah gengsi.

Nasi telah menjadi bubur, Erza hanya berpikir bahwa ia tak bisa mundur sekarang. Ia harus berusaha membuat semua kebohongannya menjadi sebuah kebenaran.

****

Sementara Haekal juga persis seperti Erza. Ia sedang melamun sambil menatap hamparan sawah di sebrang rumahnya.

Pintu kamarnya terbuka, sontak Haekal menoleh ke arah pintu. Arum berdiri di depan pintu kamarnya.

"Tumben udah bangun, baru juga mau Ibu bangunin," tuturnya pada Haekal.

"Kayak anak kecil aja, Bu. Haekal udah gede, jadi enggak perlu dibangunin lagi sebenernya. Kalau Haekal bangun kesiangan, biarin aja. Haekal cuma kelelahan, Bu."

Ya, Haekal juga lelah terus membohongi dirinya sendiri dan juga membohongi keluarganya. Ia masih menatap hamparan sawah yang merupakan tempatnya bermain dan membantu Ayahnya dulu.

Arum berjalan ke arah Haekal dan mengusap kepalanya dari belakang bak anak kecil. "Ngomong apa sih kamu. Sampai rambut kamu beruban, kamu akan selalu jadi Haekal kecil punya, Ibu," ucapnya membalas jawaban Haekal.

Ah ... jangan gini dong. Rasanya, jadi enggak enak buat terus berbohong.

"Bu ...."

"Ya, Nak. Kenapa?"

Haekal hanya tersenyum, lalu menggeleng tipis. "Enggak jadi, Bu. Lupa." Ia mengurungkan niat untuk menceritakan kebenaran.

"Masa lupa? Masih muda pikun!" ledek Arum.

"Hahaha, enggak kok. Haekal mau jalan-jalan pagi dulu nyari angin."

Haekal mengenakan celana training berwarna hitam dan segera berjalan keluar rumahnya untuk mencari udara sehat.

****

Haekal baru saja keluar, sementara Erza sudah terlebih dulu keluar, sehingga mereka tak bertemu.

WDT Academy Ramadhan [ Belphegor Group ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang