Jessica sudah selesai dengan pekerjaannya dan ia kini menaiki tangga menuju ruangan Taeyeon. Mencoba ingin menanyakan sesuatu yang sejak tadi berputar di kepalanya. Yaitu, apakah ada hubungan antara Taeyeon dengan kakaknya.
Ia masuk tentunya mengetuk pintu terlebih dahulu, ia tak mungkin asal masuk, setidaknya jika tidak ingin membuat wanita yang ia banggakan sebagai kekasihnya itu marah atau menatapnya tajam karena melanggar privasinya.
Taeyeon hanya menjawab dengan deheman, ia berpikir mungkin Jessica sudah tahu hanya dengan itu sudah berarti bahwa Taeyeon mengizinkannya masuk ke dalam ruangannya. Ia tahu Jessica masuk, namun ia mengabaikan gadis itu dan terus menatap laptopnya.
"Profesor Kim... Ehmm itu.."
"Katakan apa yang ingin kau katakan, tanyakan apa yang ingin kau tanyakan. Jika banyak bertele-tele, lebih baik keluar saja dan pikirkan kembali kenapa kau harus berada di ruanganku. Sehingga kau tidak linglung dan kebingungan saat sudah sampai di sini." Ucap Taeyeon tanpa menatap gadis itu yang justru membuat Jessica semakin takut dan menciut saat Taeyeon bersikap seperti ini.
Jessica sekarang merasa bukan sedang berbicara dengan Taeyeon sebagai kekasih atau bosnya di pekerjaan. Melainkan merasa sedang melakukan bimbingan sebuah karya ilmiah dengan seorang dosen killer yang siap menyemprotkan kata-kata pedas dan tajamnya. Walaupun ia tahu, Taeyeon bukan tipe dosen yang mengeluarkan banyak kata menggebu-gebu hingga membuat mahasiswanya ingin berpura-pura kesurupan saja saat dihujani pertanyaan kritis yang tak ada habisnya.
Taeyeon terkesan sedikit kalem, hanya saja ia tetap dapat mengoreksi dimana kesalahan yang harus dibenahi oleh Mahasiswanya. Dan tentunya sebuah senyuman adalah hal yang sangat langka untuk didapatkan dari seorang dosen Kim Taeyeon. Itu yang membuat seluruh mahasiswanya selalu merasakan Love-Hate terhadapnya.
Mari kita kembali ke topik bagaimana pergolakan hati Jessica yang begitu takut hanya dengan sebuah pertanyaan yang ragu untuk ia lontarkan pada Taeyeon.
"Kau mengenal kakakku?" Tanya Jessica yang kini sudah duduk di hadapan Taeyeon.
"Aku tahu kau bertanya bukan karena tidak tahu, tapi hanya ingin meyakinkan apakah dugaanmu itu benar ataukah salah. Dan jawabannya ada 'ya'. Aku mengenalnya." Jawab Taeyeon masih dengan menatap laptopnya.
Ia memandang laptop sejak awal bukan tanpa alasan. Taeyeon memang sedang membaca dan mengoreksi semua tugas-tugas yang sudah dikumpulkan oleh mahasiswa S2-nya.
"Sejak kapan kalian mengenal?" Tanya Jessica lagi.
"Sejak sekolah dasar. Kami selalu di sekolah seni yang sama. Aku selalu menjadi yang terbaik dan kakakmu yang selalu menjadi juara keduanya. Selalu seperti itu hingga lulus SMA. Tapi menjadi terbaik sejak awal bukan berarti bisa menjadi terbaik hingga akhir juga. Kakakmu yang menang, ia debut menjadi pianist tepat setelah lulus SMA, dan aku harus kembali belajar memulai dari awal dan melupakan mimpiku menjadi pianist, lalu berkuliah dengan beasiswa yang diberikan melalui relasi ibumu. Jika kau belum tahu, statusku adalah yatim piatu hingga umurku 19 tahun, tepat sebelum wanita yang merupakan ibu dari temanmu yang bernama Kwon Yuri itu datang kembali padaku dan memaksa untuk tinggal bersamanya."
Jessica terdiam setelah mendengar penjelasan Taeyeon. Ia ingin lebih tahu banyak tentang semuanya. Tentang seperti apa hubungan Taeyeon dan kakaknya sampai setelah lama tak bertemu mereka melemparkan tatapan saling membunuh.
"Kalian berteman?"
"Tidak. Dengan semua kalimat panjang yang sudah ku katakan seharusnya kau mengerti, kami tidak memiliki hubungan baik. Ku bilang dulu aku yang terbaik, dan dia juara duanya. Artinya kita adalah rival." Jawab Taeyeon dengan suara ketikan di laptop yang semakin ia keraskan, hingga Jessica menyadari Taeyeon melakukan itu untuk melampiaskan kemarahannya, entah Jessica pantas menjadi pelampiasan marahnya seperti ini atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prof. Independent (COMPLETED)✅
FanficTaeyeon mencoba berdamai dengan masa lalunya, namun selalu bersikap seolah tak membutuhkan siapapun di dunia ini, ia pikir ia bisa melakukan apapun sendiri. Hingga saat gadis itu datang, kehadirannya membuatnya merasa bergantung. Saat itulah ia sada...