Wanita Asing

105 7 0
                                    

Part 14

Wanita Asing

🍂🍂🍂

“Saya sayang sama kamu.”

Aku menatap tak percaya pada Ivan. Mencari celah kebohongan di matanya. Tapi, yang kulihat adalah kesungguhan. Suaranya pelan tapi terdengar dalam, dan berhasil menggetarkan seluruh saraf dalam tubuh ini.

Kuturunkan tangan dari lehernya. Namun, Ivan menahannya. Membuat alisku berkerut. Sementara mata kami masih saling mengunci pandangan.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya sangat mengejutkan. Ciuman kami, juga ungkapan sayang dari Ivan.

“Van?”

“Hmm. Saya tidak bercanda,” sahutnya. Seakan tahu, bahwa aku meragukannya.

Tangan Ivan mengelus pipiku dengan lembut, dan itu sukses membuat rasa panas menjalar di wajah. Aku menikmati setiap sentuhan kecilnya, dan desiran yang kian menjadi ini.

Ivan kembali mendekatkan wajahnya, dengan mata terpejam. Aku tahu apa yang akan terjadi. Lagi, aku tak menolak. Memutuskan untuk kembali larut bersama Ivan.

“Lis!”

Aku terperanjat dan melepaskan pagutan kami dengan tiba-tiba, ketika suara Ayah memanggil dari luar kamar.

Aku menatap Ivan, yang sama kagetnya. Tadinya, aku akan beranjak membuka pintu kamar, tapi Ivan mengisyaratkan agar dia saja yang melakukannya.

Aku memegangi dada, merasakan keterkejutan yang luar biasa. Sementara Ivan sudah menarik knop pintu dan membukanya.

“Ya, Yah?”

“Van, ayah mau jenguk teman dulu ke Bintaro. Mungkin pulangnya sore,” suara Ayah terdengar jelas dari sofa. Aku pura-pura berbaring dan memejamkan mata.

“Oh iya, Yah. Saya sama Listy juga mau keluar nanti,” sahut Ivan.

Keluar? Ngapain? Joging lagi?

“Oke kalo gitu. Ayah berangkat dulu, sepertinya Listy ketiduran.”

“I-iya, Yah,” jawab Ivan. Kenapa dia gugup segala?

Langkah kaki terdengar dan Ivan sepertinya sedang menutup pintu kamar. Tapi, sebelum tertutup sempurna, ada suara Ayah menyahut kencang, “Warna lipstiknya bagus, Van!”

APA?!

Lipstik? Aku otomatis meraba bibir, dan tersadar jika tidak ada warna di jari yang menyapu bibir.

Aku terduduk dengan cepat. Lalu, kulihat Ivan yang berdiri dekat sofa. Tangannya mengusap bibir. Kami berpandangan.

“Lipstik kamu pindah ke sini, Lis,” ujarnya sambil tersenyum. Tampan.

Haduh, kenapa aku jadi malah mikir kalau Ivan ganteng segala? Mungkin ini efek over dosis ciuman. Haish!

“Sini, aku bersihin, Van,” ucapku sambil menghampirinya dan mencabut satu tisu di meja kerja.

“Pake ini aja bersihinnya, Lis,” selorohnya dengan ekspresi datar. Ibu jarinya mengusap bibirku. Membuatku tambah gugup.

“Apaan sih, Van.”

Aku hendak berbalik meninggalkannya. Lama-lama dekat Ivan, bisa bikin jantungku mogok. Kecapean.

Belum juga melangkah, Ivan memelukku dari belakang. Tangannya melingkar di perutku, membuat wajah semakin panas.

Utang BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang