Apa Bagusnya Dia?

183 15 3
                                    

Part 3

“Aku capek, butuh istirahat,” ujarnya dengan ekspresi mengusir.

Dengan perasaan kesal, aku kembali ke ranjang. Dia benar-benar menyebalkan.

Entah mungkin karena sudah tertidur tadi, atau memang pikiranku yang tidak tenang, mata jadi enggan terpejam. Berbaring, tapi rasa kantuk tidak juga menghampiri. Sementara dia, dengkuran halusnya sudah bisa kudengar.

Andaikan tidak memikirkan Ayah, sudah kutendang dia dari kamarku.
.
Aku berjalan tergesa ke dapur, untuk menyiapkan sarapan. Tapi, kaki berhenti melangkah, saat menyadari ada seseorang yang berdiri di depan kompor, membelakangiku. Tidak mungkin kalau itu Ayah.

Tubuh tegap yang terbalut baju kaos hitam polos dan celana jeans selutut itu tampak berbeda karena ada apron berwarna pink menutupi bagian depan tubuhnya.

“Kamu bangun kesiangan, Lis?”

Aku menoleh, ternyata Ayah sudah berdiri di sampingku. Dia tersenyum, kemudian mengusap puncak kepalaku.

“Ini sarapannya, Yah.”

Aku mendongak. Ivan. Dengan wajah semringahnya menyodorkan sepiring nasi goreng pada Ayah.

“Ini untukmu.”

Sekarang, mataku beralih pada piring yang ia letakkan di depanku. Dia bisa masak?

“Jangan bengong, ayo sarapan dulu. Walaupun libur, sarapan tidak boleh libur,” kata Ayah seraya menaruh gelas berisi air putih yang tinggal setengahnya itu.

Aku mengangguk.
Mata kembali mengikuti gerak tubuh Ivan yang berjalan ke arah dapur dan melepas apronnya.

Walaupun ragu, akhirnya kusuapkan sarapan yang telah dibuatkan Pria Talenan itu. Enak. Bumbunya terasa dan pas sekali komposisi bahannya. Tanpa kusadari, sepiring nasi goreng kini telah tandas.

“Menangis juga butuh energi, ‘kan?” ujar pria yang kini tersenyum miring itu.

Aku mendengkus kasar. Enggan menanggapi kata-katanya yang memuakkan itu. Apalagi kalau bukan karena menghormati Ayah. Yang ternyata kini tengah mengulum senyum, menatapku dan Ivan bergantian.
.
Aku sedang duduk di sofa ruang tengah sambil membaca sebuah novel, sedangkan televisi plasma yang menyala itu tidak membuatku mengalihkan perhatian ke sana.

“Gak bosen tiap hari di rumah terus?” tanya Ayah sambil duduk di sampingku.

Aku tersenyum, kemudian melepas kacamata baca.

“Ya, bosen juga, Yah. Mungkin besok Listy main lagi ke cathering,” jawabku sambil membalikkan badan menghadap Ayah.
Ivan keluar dari kamar, sepertinya habis mandi sore. Tumben.

“Kalian pergilah belanja, bahan makanan tinggal sedikit. Tadi Bi Narti sudah mencatat apa saja yang harus dibeli. Ayah ingin istirahat hari ini,” terang Ayah.

Ivan di duduk di samping Ayah.

“Ya, Van? Mau ‘kan nganter Listy belanja?”
Ivan mengangguk sambil tersenyum.
“Listy naik taksi saja, Yah.”

Malas harus jalan dengan kulkas berjalan itu.

“Jangan. Mulai sekarang, kalau keluar, kamu harus sama Ivan. Biar ayah tenang.”
Aku merengut. Apakah aku ini anak balita yang masih butuh baby sitter?
.
Ini kali kedua, aku satu mobil berdua dengan Ivan. Yang pertama, saat malam kelam itu. Di sini, aku meluapkan tangis histeris, dalam dekapannya. Melontarkan segala kata penyesalan dan kebencian untuk Aris.

Malam itu, Ivan hanya terdiam sambil memelukku. Tidak mengatakan apa-apa.

Aku menangis hingga lemas, kemudian tersadar saat dia membawaku ke sebuah rumah sakit.

Tubuhku dipapahnya hingga masuk ke sebuah ruangan pemeriksaan. Pikiran dan hatiku sama sekali tidak terkoneksi dengan perbincangan yang Ivan lakukan bersama seorang dokter perempuan. Aku hanya menuruti setiap perintah dari dokter. Entah pemeriksaan apa, yang aku ingat, semua pakaian dilepas dari tubuhku.

Tatapan kosong dengan rasa yang ... entah. Kemudian Ivan membawaku untuk tidur di sebuah ruangan perawatan. Tidak ada perlawanan kulakukan, lemas dan pasrah. Meski mungkin lelaki itu membunuhku saat itu juga.

Aku hanya bangkai, busuk dan menjijikan. Jika Ayah membuangku, akan kuterima. Andai Ivan mengolok-olokku, tidak akan kulawan.

Mata kembali memanas, terasa kembali kejadian dua minggu lalu itu. Dan telepon dari Aris, malam kemarin. Kalau memang dia menyesal, mengapa tidak datang ke rumah dan meminta maaf padaku?
Kuhirup banyak udara, berharap dada terasa lebih longgar.

Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun kata yang Ivan dan aku ucapkan. Hingga sampai di supermarket, kami sama-sama diam. Kudorong troli melewati rak-rak penyimpanan berbagai produk. Lelaki selempeng talenan hanya terus mengekor di belakang, persis bodyguard.

Sesekali ada beberapa barang yang dia masukkan ke dalam troli. Aku tak acuh.

Saat tiba di kasir, aku baru menyadari. Mata para kaum hawa di sekitarku, tertuju kepada lelaki yang berstatus suamiku. Lirikan bahkan senyuman mereka layangkan saat Ivan melihat ke arah mereka. Hingga kasir yang menghitung belanjaanku seperti enggan berkedip. Aku memutar bola mata, malas.

Mereka tidak tahu kalau pria ini ....

“Terima kasih atas kunjungannya. Kami tunggu kembali kedatangannya, Mas,” ujar kasir genit itu. Tersenyum sok manis melirik Ivan. Sedangkan yang disapa itu hanya tersenyum tipis. Apa, sih, bagusnya dia?

Semua kantong plastik belanjaan dijinjing Ivan, dia terlihat kerepotan. Ah, biarkan saja. Bukankah itu memang tugas seorang suami?
.
Mobil melaju di jalanan yang tidak terlalu padat. Tapi tunggu, ini ‘kan bukan jalan menuju rumah? Aku menatap heran ke wajah sopir di sampingku. Ya, SOPIR.

“Kita ngopi dulu sebentar,” katanya tanpa melihat ke arahku. Seolah tahu pertanyaan yang ingin kuungkapkan.

“Aku tidak ngopi.”

“Saya yang mau ngopi.”

Yasalaam ... jutek!
.
Kami duduk berhadapan, tersekat meja kecil berbentuk bundar yang sudah terhidang secangkir kopi di atasnya. Pria berambut cepak itu tengah asyik dengan ponsel di tangannya. Sedangkan aku, sudah seperti patung yang termangu, karena ponsel tertinggal di rumah.

“Kalau sudah selesai ngopinya, kita pulang sekarang.”

Dia mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatapku sebentar. Kemudian menyesap cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

Riuh suara musik yang diputar pihak cafe, malah membuatku semakin jengah. Tidak betah. Berada di cafe seperti ini membuatku mengingat kembali saat-saat bersama Aris. Hampir setiap hari seperti ini. menghabiskan waktu sepulang dari kantor untuk sekadar menikmati secangkir kopi. Sambil berbincang dan melempar canda.

Ah, dadaku sesak lagi.
Beberapa menit, ingatanku melayang ke masa-masa itu.

“Ayo!”

Ivan berdiri kemudian berjalan ke arah kasir. Aku mengekor di belakangnya.
.
Setelah Ivan memasang sabuk pengamannya, aku berdehem. Membuatnya melihat ke arahku.

“Aku serius dengan ucapan semalam. Pergilah dari rumah dan ceraikan aku secepatnya.”

Dia menyandarkan punggungnya. Menatapku tajam.

“Tidak akan.”

“Aku sama sekali tidak mengerti, apa yang kamu pikirkan, Van?”

Dia mengangkat satu alisnya.

“Kita menikah karena permintaan ayah, tanpa rasa ... cinta. Kamu seharusnya menikahi wanitamu, bukan aku. Kita bahkan tidak saling mengenal. Dan kamu tau ....”

Kutundukkan wajah.

“Aku kotor.”

Tidak ada jawaban darinya.
Ivan menyalakan mesin mobil. Sesaat kemudian melaju membelah jalanan yang mulai gelap.
***

Utang BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang