Dia Menyelamatkanku

124 3 0
                                    

Part 6

Sudah satu bulan aku dan Ivan menjadi suami istri. Tapi, hubungan kami tetap sama. Dingin.

Dia tak acuh, begitu pun aku. Enggan peduli apalagi harus bersikap manis. Bukan gengsi. Tapi hanya ... merasa dia bukan siapa-siapaku.

Ponsel bergetar. Ada panggilan dari Tante Ranty. 

"Assalamualaikum, Tan."

"Waalaikumsalam, Lis."

"Ada apa, Tan?"

"Tante mau minta tolong, Sayang. Ini ada acara di gedung. Mereka pakai jasa cathering kita. Yang jaga prasmanan kurang satu orang. Karna dia sakit."

"Lalu?"

"Kalau gak keberatan, bisakah bantu tante jaga prasmanan, Lis?"

Aku berpikir sejenak. Tidak ada salahnya keluar sesekali. Lumayan mengurangi jenuh, setiap hari hanya di rumah saja.

"Gimana? Bisa?"

"Oke, deh. Listy nanti ke gedung itu."

"Alhamdulillah. Nanti bareng aja berangkatnya sama Ivan. Dia juga mau bantu tante."

"Oh, iya, Tan."

.

Tempat acara ternyata di sebuah ballroom hotel mewah. Acaranya pun sangat mewah.

"Ini acara pertunangan anak seorang pengusaha, Lis. Kebetulan, ibunya temen tante. Kita udah kenal lama. Makanya dia memercayakan jamuan pesta ke tante," jelas Tante Ranty.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Pandanganku menyapu ruangan luas dengan dekorasi serba "wah." Para tamu undangan juga berpenampilan dengan gaya para sosialita. Pastilah bukan orang-orang biasa. Mungkin sesama pengusaha, bisa juga pejabat.

Sejak datang tadi, Ivan kebagian di bagian depan. Menginstruksikan para pelayan atau mengecek persediaan makanan di meja prasmanan. Tante Ranty tampak santai dan memercayakan semuanya di bawah aturan Ivan.

"Lis?"

Tanganku yang sedang menata potongan buah, berhenti bergerak. Tubuhku terasa gemetar mendengar suara yang begitu tidak asing.

"Lis?"

Kuangkat wajah dan melihat siapa orang yang berdiri di depanku.

Tubuhku lemas, dan terhunyung ke belakang. Dengan mata masih menatap tajam pada pria berpakaian rapi di depan.

"Aris?" cicitku. Tangan mencari pegangan, tubuhku terasa tak bertulang.

"Lis?"

Dia mendekat.

Air mata luruh, bersamaan dengan rasa sesak yang menghimpit dada. Aku kesulitan bernapas. Kupejamkan mata, dan merasakan tangan yang memegang bahuku. Sekujur tubuhku terasa nyeri, persis seperti malam itu.

Kulirik tangan kekar yang semakin erat mendekapku. Ivan.

"Kita pulang."

Entah karena lemas atau memang aku tidak punya daya untuk membantah. Tubuhku dipapahnya melewati pria yang menatapku dengan mata memerah.

.

Aku menutup wajah dengan kefua tangan. Tersedu. Mengapa harus bertemu dengannya?

Sedangkan Ivan terdiam di belakang kemudi mobil. Ponselnya berdering.

"Iya, Tan. Listy baik-baik saja. Maaf, kita pulang duluan."

Sepertinya Tante Ranty yang menelepon. Ivan masih belum melajukan mobil.

Utang BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang