Berobat

125 6 0
                                    

Part 7


Tante Ranty keluar dari kamar, karena aku akan mandi dulu.


Di depan cermin besar yang  tergantung di kamar mandi, kutatap wajah kusut di depan sana. Mataku bengkak, dengan raut yang ... menyedihkan.


Terbayang kembali ucapan Tante Ranty yang menyarankan agar aku kembali berkonsultasi dengan psikiater. Sepertinya tanteku itu cemas, takut kalau traumaku akan kembali lagi.


"Baiklah, mungkin itu bisa membantuku untuk melupakan Aris sepenuhnya," ucapku sambil meraih sabun pencuci wajah.


Ivan tampak memainkan poselnya di sofa, saat aku keluar dari kamar mandi.


"Saya sudah buat janji sama dokter Diana. Kita ke sana setengah jam lagi," ungkapnya seraya menatapku.


Aku masih berdiri di dekat ranjang.


"Kamu akan begitu lagi kalau bertemu dengan lelaki itu, harus sembuh total," lanjutnya. Tanpa menanyakan apakah aku bersedia atau tidak diajak olehnya.


Tapi, aku memang tidak punya alasan untuk membantah. Dia ada benarnya juga.


"Iya," sahutku datar.


"Saya tunggu di depan."
.


"Kondisi Mbak Listy sudah lebih baik. Hanya terkejut dan belum siap saja untuk bertemu langsung dengan ... dia," ungkap dokter Diana. Psikiater yang menanganiku sejak hari pertama aku mengalami kecelakaan itu.


Wanita berkacamata itu menuliskan beberapa resep obat. Obat penenang.


"Ini hanya diminum saat terdesak saja. Dukungan dari Mas Ivan adalah obat yang paling mujarab," tuturnya.

Kulirik pria di sampingku. Ternyata dia juga menatapku. Dingin.


.


Kemacetan cukup parah di jalanan protokol ibu kota, membuat laju mobil tersendat. Pria di sampingku diam seperti biasa.


Aku kembali teringat saat Ivan datang menyelamatkanku malam itu.


Ketidakberdayaanku di bawah kungkungan tubuh Aris, hanya menyisakan isak dan rasa sesak yang membuat rasa sakit menjalar dari tubuh hingga ... hati.


Tubuhku lemah, tak kuasa menahan tangan kekar yang mengoyak baju hingga tiada sehelai benang pun menutupi kulitku.


Raungan dan suara mengibaku tidak membuat Aris mengendurkan cekalan tangannya. Hingga mahkotaku terenggut paksa. Meski dia pacarku, tidak ada sedikit pun kerelaan apalagi rasa nikmat saat tubuh itu menindihku.


"Kamu hanya mikikku, Sayang. Tidak ada yang bisa ngambil kamu dariku."

Kalimat terakhir yang Aris ucapkan sebelum terlelap, di sampingku. Yang masih terisak, memegangi ujung selimut tebal yang menutup tubuh polosku.


Air mata tidak lagi mengalir. Kesadaranku pun semakin menipis, seiring dengan rasa perih yang mencabik lahir dan batin. Kuraih tas di dekat ranjang. Mencari ponsel, dan menelepon seseorang.

Utang BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang