Pacaran Sehat

105 7 0
                                    


“Kaki saya keram.”

Aku spontan melepas pelukan dan segera berdiri. Kini bisa kulihat kalau dia memang meringis, susah payah untuk berdiri. Apa sesakit itu? Mengapa aku jadi mencemaskannya?

Setelah kami berhadapan, Ivan memasangkan cincin emas putih itu di jari tengahku. Berdampingan dengan cincin pernikahan kami. Terlihat aneh tapi lucu. Cincin pernikahan dan juga cincin pacaran. Ah, entahlah. Geli rasanya.

Aku menatap cincin cantik itu, kemudian menyentuh dan hati ini terasa hangat. Senyuman tak bisa lagi kutahan. Melengkung lebar tanpa aba-aba.

“Makasih, Van,” ucapku sambil menatapnya.

“Saya yang makasih. Kamu udah ngasih saya kesempatan,” katanya dengan mata melekat menatapku.

Tanpa diduga, Ivan mencium keningku tiba-tiba. Aku mematung, merasakan sentuhan hangat yang membuat sesuatu berdesir dalam tubuh.

Hanya sebentar, tapi terasa begitu dalam. Aku hampir saja hanyut dalam getar yang mendebarkan. Dan suara Ayah berhasil mengembalikan perasaanku yang melayang sesaat.

“Aduh, ayah udah laper nih, Lis,” ujar Ayah sambil berdeham.

Aku dan Ivan saling menjauhkan tubuh. Kami berdua memalingkan wajah. Entah perasaanku saja atau memang benar, Ivan terlihat salah tingkah. Tangannya menggaruk tengkuk.

“Kita makan sekarang, Yah,” ucapku sambil melangkah menuju meja makan.

Tanganku masih terasa dingin, dengan telapak yang berkeringat. Kejadian singkat ini benar-benar mengejutkan. Dan tentu saja menyenangkan.

“Jangan cuma senyum-senyum, makanannya tar keburu dingin, Lis,” kata Tante Ranty.

“Eh?”

Aku mendongak dari piring yang baru disadari masih berisi setengahnya. Aku menatap Tante Ranty, Ayah, dan ... Ivan. Ternyata mereka sedang memerhatikanku. Sejak kapan? Jangan-jangan, dari tadi mereka melihatku bertingkah aneh?

“I-iya, Tan.” Kenapa aku malah jadi grogi begini?

Kulirik Ivan yang berada di sampingku. Dia tampaknya menikmati hidangan yang disajikan. Aku baru menyadari jika makanan yang dihidangkan sangat banyak dengan menu yang lengkap. Ini seperti sebuah perayaan saja.

“Makanannya kok, banyak banget, Tan?” tanyaku seraya melihat satu per satu sajian yang terlihat lezat.

“Lah, ‘kan sengaja. Ini hari spesial kamu, Sayang,” jawab Tante Ranty sambil terkekeh.

Aku mengangguk sambil nyengir. Apa harus sampai segini banyaknya?

“Ini iga bakar kesukaan kamu, Lis.”

Aku menatap piring yang baru saja diisi sepotong iga bakar oleh Ivan. Pria itu bahkan sudah menambahkan saus barbeque di atas potongan daging. Sekilas, ada senyum di bibir tipisnya.

Dia tersenyum? Padaku? Apa dia sedang bersikap manis?

Makan malam dengan porsi besar membuat mataku cepat sekali mengantuk. Padahal ini baru pukul sembilan malam. Kuletakkan ponsel di nakas, dan menarik selimut. Baru saja akan berbaring, pintu kamar terbuka dari luar.

Ivan menatapku sekilas sebelum menutup pintu. Seperti biasa, dia akan mandi sebelum tidur. Mandi malam. Perkiraanku pun tidak meleset. Dia mengambil baju ganti dari lemari dan berjalan menuju kamar mandi.

Sebentar. Baju ganti?

Sejak kapan Ivan mengganti bajunya di kamar mandi?

“Sudah mandi?” tanya Ivan saat melewati ranjang.

Utang BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang