Lelaki Sombong

207 12 0
                                    

"Bisa temani aku tidur?"

Dia terdiam sebentar, kemudian mengangguk.

Aku tidak punya pilihan lain, karena rasa takut ini sungguh mencekam. Rasanya tidak sanggup jika harus tidur sendirian malam ini.

Aku menarik selimut, menutupi hingga dada. Sedangkan Ivan duduk bersandar pada headboard, tangannya memegang ponsel yang diambil dari saku celananya.

Dua minggu tinggal di kamar yang sama, aku sudah hapal bagaimana kebiasaan lelaki bercambang ini. Salah satunya adalah tidak pernah mengganti baju saat akan tidur. Kemeja lengan panjang dan celana bahan, sepertinya tidak membuatnya risih.

Satu lagi, dia tidak pernah memakai selimut saat tidur. Cukup satu bantal menyangga kepalanya.

"Van!"

Dia menatapku, tanpa menjawabku.

"Makasih," lanjutku.

"Ya."

Jawaban singkat, padat, dan jelas. Yang pasti tanpa ekspresi juga. Selalu begitu kalau aku mengucapkan terima kasih untuk kebaikannya.

Walaupun kesal, tapi aku tetap berterima kasih padanya. Bagiku, itulah cara kita menghargai pertolongan orang lain.

Berbeda dengan lelaki kaku ini. Dia tidak pernah sekali pun mengucapkan salah satu kata ajaib itu. Setidaknya padaku.
.
Mata mengerjap, saat sinar matahari terasa menyilaukan pandangan. Ternyata hari sudah siang. Dan aku bangun kesiangan.

Saat hendak turun dari ranjang, kepala terasa pusing. Selalu seperti ini, jika malamnya aku bermimpi buruk. Kupegangi kepala, kemudian kembali terbaring.

"Lis!"

"Masuk, Yah!"

Ayah membuka pintu kamar. Sambil membawa sebuah nampan. Senyuman hangat terlihat di wajahnya yang teduh.

"Ini, sarapan dulu. Nanti ayah akan periksa."

Kuanggukkan kepala. Kemudian berusaha bangkit akan ke kamar mandi.

"Mau ayah bantu, Nak?"

"Makasih, Yah."

Ayah memapahku hingga di depan pintu kamar mandi. Tubuh rasanya sakit semua. Mungkin setelah membersihkan tubuh, akan terasa lebih enak.

Ayah ternyata menungguku di depan pintu kamar mandi.

"Mau ayah suapin?"

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Listy bisasendiri, Yah," tolakku dengan halus. Kemudian Ayah menyodorkan semangkuk bubur yang diberi toping ayam dan sayuran.
.
Setelah diperiksa, ternyata tensi darahku rendah. Mungkin karena semalam kurang tidur.

"Istirahatlah, nanti biar Ivan yang jagain di rumah, ya?"

"Gak usah, Yah. Listy di rumah sama Bik Narti saja."

"Bik Narti katanya akan sampai Zuhur. Ayah akan kepikiran terus, kalau kamu  sendirian di rumah. "

Akhirnya aku mengangguk pasrah.
.
Ponsel Ivan berdering. Mungkin dia lupa tidak membawa ponseknya ke luar kamar. Karena terus berdering, kubawa ponsel untuk diberikan ke Ivan.

Dia ternyata sedang duduk di sofa ruang tamu. Dengan laptop menyala di pangkuannya.

"Ini, ponsel kamu bunyi terus," ungkapku sambil menyodorkan benda pipih itu. Tangan Ivan menerimanya. Tanpa kata.

Dia tidak berubah. Masih Ivan yang dulu. Yang datang ke rumah ini tiga bulan yang lalu. Pria yang memakai kursi roda.. Dengan raut wajah dingin.

Aku ingat, jika pagi-pagi kuantarkan sarapan ke kamarnya yang merupakan kamar tamu di rumah. Ketika aku masuk, maka pemandangan yang terlihat adalah seorang pria di atas kursi rod. Sedang memandang ke luar jendela kaca. Seolah menikmati indahnya taman samping rumah.

"Ini, sarapannya."
Kalimat yang sama, saat kutaruh nampan yang berisi menu sarapan dan obat untuknya.

Tidak pernah ada reaksi darinya. Apalagi ucapan terima kasih kuterima. Dia tidak pernah melihat ke arahku. Benar-benar pria yang sombong. Menurutku apa susahnya bilang terima kasih?

Apakah dia seperti itu juga pada Ayah? Orang yang telah menyelamatkannya.

Saat itu, akan kutinggalkan dia begitu saja. Entah sarapan itu dimakan atau tidak. Sekarang, juga sama saja.
.

Utang BudiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang