Navillera (3)

104 21 7
                                    

Senin mengawali musim dan bulan baru. Kaki Yuna sudah jauh lebih mending dari sebelumnya, tetapi ia belum bernyali ke mana-mana tanpa kruk. Jadilah ia berjalan perlahan-lahan menyeberangi lapangan menuju bangunan utama sekolah, selalu menepi agar tak menghalangi siswa lain, dan sampailah dia di dasar tangga.

Dua hari kemarin, cowok-cowok di 3-E masih bergantian menggendongku naik dan turun. Sekarang, tidak ada siapa-siapa.

Yuna bukannya tidak mengantisipasi ini. Orang tuanya sudah bertanya apakah putri mereka butuh bantuan mobilisasi nanti. Misalkan bergerak sendiri begitu sulit, surat izin pun sudah disiapkan buatnya. Namun, Yuna berkeras tidak mau meninggalkan pelajaran, apalagi ia harus beradaptasi lagi di kelas lama. Demi itu, ia sampai berlatih naik turun tangga rumah dengan pengawasan ibunya.

Tegang, Yuna menapaki satu demi satu anak tangga dengan sangat hati-hati. Kelegaannya begitu sampai bordes pertama sangat besar, padahal masih ada beberapa anak tangga dan bordes lagi yang harus dilewatinya sampai ke lantai tiga.

Kau bisa melakukan ini, Choi Yuna.

Baru selangkah melewati bordes pertama, seorang siswa tahu-tahu berlari turun dalam jalur yang sama dengan Yuna. Ia melotot kaget, bingung bagaimana menghindar. Untungnya, siswa itu lebih dulu berpindah jalur sambil mengumpat.

"Aish! Sialan, coba sekolah ini punya lift!"

Meski tidak secara langsung dicemooh, tetap saja umpatan itu menyakiti Yuna. Kalau dipikir-pikir, ia justru menjadi amat terikat dengan 3-E beberapa hari belakangan, makanya perpisahan dengan mereka terasa lebih berat. Keterbatasan kakinya sekarang membutuhkan perhatian lebih dari orang-orang, sayangnya kalau bukan ke 3-E, Yuna sungkan meminta lebih.

Yuna tiba di lantai dua ketika berpapasan dengan Sujeong, Chaeyeon, Junhoe, dan Yibo. Mereka yang pernah terlibat—langsung maupun tidak—dalam kasus perundungan 3-A itu kini melangkah bersama-sama menuju kelas.

"Sujeong-ah, Chaeyeon-ie!" panggil Yuna pada para gadis dengan penuh semangat, memalingkan wajah para pemuda pula. Empat orang itu tampak semringah dengan cara masing-masing, tetapi sama-sama cemas sampai berhenti sejenak agar tidak menyusahkan Yuna yang terpincang-pincang.

"Yuna, pelan-pelan!" Chaeyeon yang paling awal menyejajari sahabatnya. Yang diperingatkan cuma meringis.

"Hebat sekali kau bisa sampai sini sendiri," puji Yibo, lalu menunjuk Junhoe dengan jempol. "Biar tidak buang energi, dia bisa menggendongmu lagi ke lantai 3."

"Bangsat."

Sudah terbiasa, Yuna yang dilempari kata kasar malah tertawa. "Jangan khawatir. Aku akan berhati-hati. Hitung-hitung latihanku supaya bisa berjalan normal lagi. Omong-omong," Yuna menoleh pada gadis-gadis, "aku senang kalian akrab."

Chaeyeon kelihatan jengah, mungkin khawatir masalah perundungannya terhadap Sujeong akan dibahas lagi. Tentu saja Yuna tak melakukan itu; ia murni kagum pada dua orang berbeda kepribadian yang ternyata nyambung setelah berdamai.

"Maaf, ya, Yuna, mencuri Chaeyeon-mu." Justru Sujeong yang lebih rileks sampai bisa bercanda segala.

"Tenang. Selama belum ada yang memacari, Chaeyeon milik bersama!"

Yuna dan Sujeong tertawa selagi obyek pembicaraan mereka menunduk, masih malu-malu mengakui perasaannya. Junhoe memutar bola mata, enggan menikmati guyonan girly ini, sedangkan Yibo tersenyum di sebelahnya. Sambil jalan, mereka pun membicarakan awalnya Sujeong dan Chaeyeon menjadi dekat—yang ternyata bukan semata karena jalan bareng ke kelas pagi ini. Akarnya adalah permintaan maaf (lagi) yang lumayan alot dan melelahkan, dilakukan saat libur kemarin saat Yuna dan Jaehyun masih di kantor polisi.

Rough ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang