Kim Mingyu (2)

263 45 16
                                    

Tujuh dua enam. Baru segelintir murid 3-E yang sudah berada di aula, salah satunya Yuna. Dari balik dua pintu barat yang terkunci, gadis semampai itu dapat menemukan rekan-rekan kelas lamanya, 2-C, sedang berlatih layup untuk penilaian hari ini. Jung Eunbi yang berambut (dan berkaki) pendek berada dalam barisan para siswi di depan ring selatan, menunggu gilirannya melakukan tiga-langkah-dan-melompat dengan gugup. Beberapa kali Yuna melihat mulut kawannya membentuk kalimat 'aku tidak bisa' jika diajak bicara siswi lain.

Ah, kangen sekali. Yuna bukan yang terhebat dalam basket, tetapi paling tidak, ia tampak cukup 'normal' ketika mengambil langkah menuju ring. Eunbi selalu bingung harus memulai dengan kaki apa, juga di mana harus berhenti, dan berakhir jadi tertawaan anak-anak lelaki. Biasanya, mendekati evaluasi, Yuna dan Eunbi menyisihkan buku-buku mereka untuk latihan yang sering membuahkan hasil; bahkan Eunbi dua kali mencetak angka. Masalahnya, setelah penilaian, mereka akan melupakan tekniknya sama sekali hingga harus berlatih dari awal.

Sekarang, Eunbi berlatih dengan orang lain dan Yuna merasa kosong.

"Ish, kok dia melempar pakai tangan kiri? Yang kanan kan lebih kuat."

Suara berat ini menyambangi rungu Yuna begitu Eunbi di seberang melempar bolanya ke atas, membentuk gerakan parabola yang tidak menyenggol ring sedikit pun. Gadis mungil itu mengerucutkan bibir kecewa sebelum berpindah ke barisan paling belakang, menunggu giliran berikutnya.

"Mingyu," Yuna mengangkat alis, "kangen juga, ya?"

"Pasti. Kapan aku tidak kangen Eunbi?" Pemuda yang menyampirkan blazernya asal ke bahu itu sampai menempelkan jari-jari tangannya ke kaca pintu. "Dia terlalu imut untuk jadi mantan pacar, mestinya dipertahankan saja."

Meringis Yuna mendengarnya.

"Lalu mengapa kalian putus? Kalau dari cerita Eunbi semester kemarin, tiba-tiba saja kau minta mengakhiri hubungan saat kalian kencan."

Mingyu tidak langsung menjawab, masih menatap lamat mantan kekasihnya yang gembil. Sejemang kemudian, telapaknya terulur ke depan Yuna.

"Seratus ribu won untuk cerita asli. Gratis untuk yang palsu."

"Ih," Yuna mundur sedikit, "daripada kuserahkan padamu, mending kupakai beli buku."

"Jadinya cerita palsu saja, nih, maumu?" Yang asli lah!, desak sang sekretaris kelas dan Mingyu tergelak. Apa yang ia tuturkan selanjutnya tidak dapat Yuna pastikan kebenarannya.

"Kau tahu, di hari pelaksanaan suneung, nyaris seluruh bagian negeri ini berhenti beroperasi. Bandara menunda pemberangkatan, arus lalu lintas diatur sedemikian rupa. Menurutmu, apa yang bisa menjadi alasan percintaan konyol kami boleh tetap berlangsung?"

"Hah?" Dahi Yuna berkerut. "Maksudmu ... kau memutuskan Una cuma untuk mempersiapkan suneung?"

Mingyu membuang bahu cuek. "Begini-begini, aku tidak suka main api dengan masa depanku."

"Tapi tidak selamanya berpacaran akan membahayakan nilai-nilaimu, kan?" Dada Yuna sesak; apa 'sekonyol' itu hubungan yang selama ini sangat dijaga Eunbi bagi Mingyu? "Kau bisa masuk 3-E karena nilai kelas satu dan duamu bagus, padahal saat itu, kau masih bersama Una. Aku yakin kau bisa mempertahankan prestasimu karena kau sebenarnya tekun dan tidak mudah terusik."

"Tidak ada jaminan kedua hal ini dapat sama-sama berjalan baik di kelas tiga, apalagi dengan jadwal gila-gilaannya 3-E, jadi aku mengambil jalur yang lebih menguntungkanku dan itu bukan Una-mu," sahut Mingyu, rautnya mengeras. "Jangan paksakan idealismemu, Yuna, dan jangan sesekali membandingkanku dengan Pimook atau Sicheng; kehidupan mereka setelah ini akan ditentukan negara masing-masing, bukan suneung."

Diam-diam, Yuna menggigit bibir dalamnya, kehabisan argumen sekaligus dirundung kejengkelan. Hati Eunbi diempaskan seperti sampah, apa-apaan?

"Kukira kamu bukan orang yang berkiblat sepenuhnya pada suneung, ternyata sama saja."

Semburat merah yang mulai mewarna wajah Mingyu bukan pertanda baik.

"Maaf melukai sahabatmu, tetapi tidak ada yang salah dari berpikir realistis."

Pembicaraan ini akan menjadi racun jika diteruskan, namun Yuna tak kuasa melawan dorongan untuk menyudutkan Mingyu. Benaknya terus-terusan menyalahkan si ahli fisika, mengenang Eunbi yang tersedu-sedu entah berapa hari sampai matanya berkantung. Pernyataan acuh tak acuh tadi menekan tombol amarah Yuna dan ia tidak bisa berhenti sampai pemuda itu minta maaf yang setulus-tulusnya.

"Apa berpikir realistis berarti kamu harus menyakiti orang lain?"

Beberapa kepala mulai menoleh saat Yuna meninggikan intonasi. Mingyu tak mau kalah.

"Kau, tuan putri yang selalu hidup enak, tidak berhak menyinggung soal rasa sakit. Setiap orang punya alasan—"

"—dan tidak semuanya harus diungkapkan. Ayo pergi, Mingyu."

Pihak ketiga serta-merta menghentikan perdebatan sebab ia menarik Mingyu yang belum puas, sementara napas Yuna tersangkut di tenggorok, lidahnya kelu.

Jungkook boleh saja bungkam, tetapi kehadirannya sendiri tidak pernah membuat nyaman Yuna, apalagi sekarang, ditatap seperti itu dengan kedua manik yang redup memaku si jelita di tempat. Tatkala punggung dua remaja tadi menjauhi jangkauan visi Yuna, sadarlah gadis itu akan kesalahannya—dan dalam hati, ia mengutuk diri yang menumpul begitu naik pitam.

Mingyu mungkin tidak bicara jujur. Jungkook dan Pimook mungkin tahu rahasianya. Eunbi mungkin—

Terlalu banyak 'mungkin', terlalu banyak dugaan yang memusingkan Yuna, walau sesungguhnya ia ingin menerima kekalahannya dengan lapang dada tanpa terus berupaya mencari pembenaran. Padahal baru kemarin ia mengagumi Mingyu atas ide-idenya yang nyeleneh namun bermanfaat, kini rasa tak senang melahap seluruh kekaguman itu.

"Yuna, pagi!"

Kontan Yuna berbalik dan tersenyum cerah. Jemarinya segera ia tautkan pada telapak lembut gadis berkuncir tinggi yang baru saja tiba.

"Chaeyeon, tepat waktu! Aku mau curhat, nih ...."

***

"Seokmin-ah."

"Ya?" Layaknya boneka otomat, Seokmin berpaling pada ketua kelasnya yang barusan memanggil sambil melepas earphone. Seresponsif itu memang seorang penggemar terhadap idolanya, sehingga suara Jaehyun yang tak seberapa lantang mampu mengalahkan gelombang dari alat pendengar.

"Aku boleh makan di sini?"

"O, tentu. Sebentar, kubereskan dulu."

Dengan cekatan, Seokmin menyisihkan ponsel dan earphonenya, menepikan nampannya agar Jaehyun punya cukup ruang, dan mencabut selembar tisu untuk membersihkan sedikit sisa makanan yang berceceran pada meja kantin. Pemuda berkacamata itu baru mengizinkan Jaehyun meletakkan nampan setelah semuanya berkilau.

"Terima kasih, maaf merepotkan. Sebenarnya, aku bisa bersihkan sendiri, kok ...."

"Jangan. Meja ini kan dari tadi aku yang menempati, jadi aku yang harus membersihkannya untukmu." Kembali Seokmin duduk sambil mengusap tengkuknya canggung. "Hari ini, akhirnya menunya bibimbap lagi, ya?"

"Benar. Aku heran mengapa dua minggu ini mereka tidak menyajikannya." Usai mengaduk nasi, Jaehyun menyuap dan mengunyah dengan wajah ceria. "Dan ini enak sekali. Kau tidak makan?"

"Eh, iya."

Karena gugupnya, Seokmin jadi memandangi Jaehyun terus sampai lupa makan. Ia menyendok nasinya perlahan dan mengecap dengan lambat, tetapi matanya masih belum beralih dari sang teladan. Meski ingin menganggapnya biasa, lama-lama Jaehyun jengah juga ditatap seperti itu, apalagi mereka sama-sama sedang diam. Beruntung, satu topik tercetus dalam benak si ketua kelas dan ia segera menyampaikannya setelah suapan ketiga.

"Kamu tidak lanjut mendengarkan musiknya?"

"Yah ... sudah bosan, sih. Belum ada yang baru di antrean laguku." Aslinya, Seokmin berhenti memutar musik karena ia khawatir tidak bisa mendengar suara Jaehyun jika diajak bicara.

"Barusan, lagu apa yang kaudengarkan?"

"Hm ... yang ini belum ada judulnya."

Rough ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang