Fever (2)

337 42 20
                                    

Sebelumnya: 3-E akan dibubarkan! Keputusan ini membawa kelegaan sekaligus perih dalam hati Yuna, tetapi mengetahui bahwa pembatalan sistem ini menjadi tujuannya dan Jaehyun sejak pertama masuk, ia setuju untuk memberikan kesaksian pada polisi agar pembubaran 3-E dan pemutusan vonis terhadap para guru penindas dapat berlanjut. Sayangnya, ada masalah dalam badan 3-E yang belum terselesaikan ....

***

Nampan yang Yuna bawa bergetar sedikit ketika gadis itu tiba di depan pintu kamar Chaeyeon. Ini bukan kali pertamanya mengantarkan sarapan ke sana (dan berakhir dengan sebagian besar makanan tak tersentuh), tetapi debar antisipasi dalam dadanya masih ada. Siapa tahu mukjizat datang sehingga Chaeyeon bersedia melangkah keluar, menyambut nampan dengan sukacita, dan menghabiskan makanan?

Mari kita coba lagi.

“Chaeyeon-ah, ayo sarapan! Mumpung masih hangat!”

Tidak berjawab.

“Hari ini menunya samgyetang, lho!”

Masih hening. Yuna memutar otak.

“Ini dimasak dengan racikan bumbu spesial dari Jaehyun!”

Pintu terbuka begitu nama Jaehyun disebut. Kegembiraan yang ditimbulkan kemunculan Chaeyeon hanya sementara: dengan rambut tergerai berantakan, raut masam, dan tubuh kurus, Chaeyeon tampak lebih sakit dibanding saat pertama tiba di rumah musim panas. Yuna akan menarik paksa raga kering itu dari kamar andai kedua telapaknya tidak menyangga baki.

“... bangkai.”

“Apa?”

“Baunya,” Chaeyeon menatap sengit mangkuk samgyetang, “seperti bangkai, sama busuknya dengan bau rumah ini.”

Sekonyong-konyong, Yuna merasa kebas di sekujur badan.

“Tapi, aroma ini begitu lezat—“

“Aku tidak bisa makan di rumah yang berbau mayat, jadi bawa itu pergi.”

“Chaeyeon-ah, tidak ada mayat.” Yuna meyakinkan, setengah memohon. “Kamu hanya sedikit sakit sehingga semua hal seakan tercium tidak sedap. Kita coba makan di luar rumah, bagaimana?”

Kening Chaeyeon berkerut. “Kau tidak mengerti apa-apa, Tukang Membual. Enyahlah!”

Ngilu di dada Yuna begitu hebatnya sampai ia harus bungkam beberapa saat agar tenang kembali.

Harus sabar.

Namun, sebelum Yuna sempat memikirkan bujukan selanjutnya, pintu kamar mulai digeser menutup. Panik, si gadis semampai refleks maju; kuah samgyetang bergejolak akibat gerakannya yang tiba-tiba. Ia tak akan mampu menahan pintu dengan nampan masih terpegang, beruntung satu lengan kuat tahu-tahu menyelip dan membuka celah. Lengan itu kemudian menghela Chaeyeon keluar. Memekik, Chaeyeon yang sangat ringan pun terhuyung dan menumbuk dada orang yang menariknya.

“Mingyu?!”

Mendengar seruan Yuna, Chaeyeon kontan mendongakkan kepala, lalu mendengus kesal dan berbalik. Ia akan mengunci diri lagi jika saja Mingyu—tanpa basa-basi—memanggulnya di bahu.

Chaeyeon menjerit.

“Apa yang kaulakukan?! Turunkan dia!” perintah Yuna yang ketakutan lantaran posisi Chaeyeon tampak tak stabil, terlebih tungkai sang dara terus menendang-nendang asal demi meloloskan diri. Bukannya menggubris permintaan ini, Mingyu justru berjalan menuju ruang tamu.

“Kalian sama-sama butuh udara segar. Yuna, taruh saja sarapan si manja ini dalam kotak bekal.” Mingyu lantas mendesah keras. “Dengan badan seringan ini, kau benar-benar bisa tertiup angin, Jung Chaeyeon.”

Sejenak tercengang oleh kejadian tak lazim lagi mendadak itu, Yuna akhirnya sadar bahwa ide Mingyu lumayan bagus. Apakah Jaehyun punya kotak bekal?, tanyanya dalam hati sembari melangkah ke dapur. Menakjubkan; dua kotak bekal dan tumbler kecil yang bersih sudah tersedia di atas meja makan, seakan dipersiapkan terlebih dahulu oleh seseorang. Yuna tersenyum kecil.

Mingyu ternyata perhatian, ya.

Tak butuh waktu lama untuk memindahkan isi mangkuk ke kotak bekal, juga memenuhi tumbler dengan air. Yuna menumpuk semuanya dan beranjak ke depan setelah berpamitan pada siapa saja yang ia temui di ruang tamu ('aku dan Chaeyeon mau piknik sebentar'). Sesampainya di halaman, ia tidak lagi terheran menemukan Chaeyeon telah didudukkan di atas sadel belakang sebuah sepeda. Mengapa 'didudukkan', itu karena telapak Mingyu belum beranjak dari kedua bahu Chaeyeon, sebuah upaya agar si gadis tidak melarikan diri hingga Yuna tiba. Konyol, tetapi manis; Mingyu kelihatannya bersungguh-sungguh membuat Chaeyeon mau makan.

“Terima kasih. Kau bisa turunkan tanganmu sekarang, Mingyu-ya.” Tawa tipis Yuna menyembul dari balik kata-katanya. Bekal ia letakkan di keranjang sepeda, kemudian ia menaiki sadel depan dan menaikkan jagang, siap mengayuh. Barulah Mingyu melepaskan Chaeyeon.

“Sial.”

“Jangan mengumpat, dasar ceking,” sahut Mingyu, membuat jengkel Chaeyeon. “Ada taman dekat sini, sekitar dua ratus meter arah utara. Kalian bisa bersantai sejenak di sana sambil makan.”

“Aku tidak membutuhkannya!” Chaeyeon nyaris turun dari sepeda, tetapi Yuna yang jahil mendadak mengayuh melintasi pagar. Tersentak, Chaeyeon memekik lagi dan tak sengaja melingkarkan lengannya di pinggang Yuna. Sepeda direm tepat di luar rumah dan Yuna tertawa, menikmati reaksi kawannya.

“Baiklah, Mingyu-ya, aku berang—“

“Tunggu. Ulurkan tanganmu, Yuna.” Merogoh saku celana, Mingyu mengambil sebuah ikat rambut sederhana warna merah dan memasangkannya ke pergelangan tangan sekretaris kelasnya. “Nih, punya si ceking. Pakaikan nanti biar dia tidak mirip orang gila.”

“Ya ampun, cantik-cantik dibilang orang gila. Jangan jahat, dong.”

Tapi, dengan penampilan masai begini, bukan mustahil seseorang mengira Chaeyeon mengalami gangguan mental. Prihatin, Yuna memilih tidak lagi menoleh ke sadel belakang dan mulai melajukan sepeda ke taman. Hingga setengah perjalanan, lengan Chaeyeon masih melingkari pinggang Yuna, seakan lupa bahwa ada masalah yang belum terselesaikan di antara mereka. Bukan berarti Yuna keberatan; ia malah merasa kehilangan ketika sepasang lengan itu membebaskan pinggangnya.

Taman yang dimaksud Mingyu lumayan lengang hari itu, tetapi bukan berarti Chaeyeon—yang tampak kacau—tidak menarik perhatian. Beberapa pasang mata sejenak melirik dara kurus di sadel belakang setiap mereka melewati sepeda Yuna. Entah apa yang mereka pikirkan. Alih-alih Chaeyeon, Yuna-lah yang merasa tidak nyaman, ingin melindungi kawannya dari tatapan-tatapan mengadili itu.

Cari tempat yang sepi saja, deh.

“Ke sana, yuk! Tempatnya teduh!” ajak Yuna sembari menggandeng (dan setengah menarik) Chaeyeon. Awalnya, yang diajak bergeming, memandang Yuna kosong dengan kedua kaki menjejak aspal demi mengukuhkan posisi duduk. Tak patah arang, Yuna terus merayu gadis itu—yang akhirnya mendesah keras, berdiri, menendang lemah segumpal pasir ke arah Yuna, sebelum membiarkan dirinya diseret ke bangku panjang di bawah sebatang pohon rindang.

“Wah, lihat ini! Menggiurkan sekali, apalagi aromanya dibawa sepoi-sepoi angin!” Yuna menyendok kuah dan sepotong kecil ayam, lalu mendekatkannya ke bibir Chaeyeon. “Ayo, buka mulutnya. Aaah!”

Ingin Chaeyeon menghindari suapan itu, tetapi raut cerah nan tulus dari Yuna mendamparkannya pada nostalgia yang melumpuhkan. Tahu-tahu saja, mulutnya terbuka. Satu suapan mendarat lembut di dalam.

Mata Yuna berbinar-binar. “Bagus! Satu lagi, satu lagi!” ujarnya seperti anak kecil. Keceriaan itu sejenak padam melihat sehelai rambut Chaeyeon terselip di bibir, ikut terkunyah. Tanpa rasa canggung, Yuna menyingkirkan helaian itu dan menyiapkan suapan berikutnya. Chaeyeon mengunyah lambat-lambat, tidak berselera, tetapi Yuna sabar menunggu, mengisi waktu dengan merapikan anak-anak rambut Chaeyeon.

Rough ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang