Time for Us (1)

397 55 16
                                    

Sebelumnya: Mingyu mengenang kembali persahabatan trio fisika dengan Yugyeom yang kini telah tiada ketika Junhoe muncul, hendak berenang di kolam yang sama dengan Jungkook. Pimook mencetuskan ide balap renang, di mana Jungkook menang dan Junhoe kalah. Jungkook melayangkan tinjunya sebagai 'hadiah', tetapi malah Mingyu yang terpukul. Yuna yang menyaksikan itu ikut terlempar pula ke masa lalu yang pahit.

***

"Kupikir aku adalah orang terakhir yang akan kausakiti secara fisik gara-gara Yugyeom. Mau berapa lama lagi kau melampiaskan emosimu sembarangan begini, Jungkook-ah?"

Telapak kaki Yuna tersentuh luberan air kolam, tetapi sensasi dingin yang menggigit ini tidak berasal dari sana. Air kolam tak akan menjalarkan kebekuan ke sepanjang tulang belakangnya. Sensasi seperti es tersebut hanya dapat dipatahkan jika ia memutus kontak mata dengan Jungkook—hal yang mustahil ia lakukan sekarang.

"Tolong jangan ikut-ikutan lagi, Yuna-ya." Sial, suara Jungkook terdengar jauh dan marah. "Aku minta tolong sekali."

Sayangnya, Yuna sudah bertekad untuk tidak melarikan diri (lagi). Ia terlalu lunak selama ini sehingga Jungkook juga terus terperangkap dalam lingkaran setan traumanya.

"Aku ingin kau sembuh dari luka yang kautimbulkan sendiri."

"Jika kau tidak menyingkir, tangan ini akan melayang ke wajahmu." Dengusan napas Jungkook makin jelas di telinga Yuna. Ambang ledak si pemuda dalam keadaan seperti itu sangat rendah. Kendati demikian, Yuna sadar posisinya sebagai kunci kendali diri Jungkook, maka ia terus pasang badan seolah-olah tidak gentar sedikit pun.

"Aku tahu kau tidak akan sanggup menyakitiku lagi, betapapun marahnya kau padaku. Aku juga tahu kalau kau dapat menahan diri dari menamparku, suatu saat nanti, kau juga akan memaafkan Goo Junhoe."

"YUNA!!!"

Tangan Jungkook terangkat mengancam. Pimook yang panik menahan tangan itu.

"Kook, sudah! Sudah, ayo, kita masuk dan keringkan badanmu, oke?"

Meski sempat gemetar karena kaget dibentak, Yuna tidak mundur, bahkan memejam ketakutan pun tidak. Ia konsisten dengan keyakinan bahwa Jungkook tidak akan melukainya. Dikejarnya manik Jungkook yang justru menghindari tatapannya. Pimook, setelah menurunkan tangan sang sahabat dan menutupi tubuh basah itu sekadarnya dengan handuk yang tersampir di kursi, menyeret Jungkook masuk rumah.

Beberapa detik, Yuna mempertahankan posisi: berdiri di tepi kolam dengan pandangan lurus ke depan. Semilir angin jadi satu-satunya yang menghampirinya. Perlahan, ia bergeser menyamping ke kursi kayu yang tak lagi berpenghuni dan duduk dengan kepala tertunduk.

Astaga, tanganku berkeringat dingin.

Dan, alasannya amat terang—juga amat bodoh menurut Yuna. Ia tersenyum remeh pada diri sendiri sembari mencengkeram blus yang melapisi dentam jantungnya. Sekonyong-konyong, area alfresko berubah menjadi bentangan atap sekolah yang ditumpuki bangku-bangku bekas, juga berliput terali besi.

Hah, terali. Terhitung tahun kemarin, terali-terali pada atap Seoul Global High telah dicopot, digantikan peninggian dari bata, tetapi dalam kenangan Yuna, terali dengan bau tajam karat itu masih di sana. Pada hari terakhirnya berstatus kekasih Jungkook, Yuna ingat punggungnya membentur jajaran pancang besi tipis ini dengan sangat keras.

"Berani kau memperingatkanku untuk melupakan Yugyeom?! Seenaknya saja mulutmu itu! Kau tidak mengerti apa-apa tentang kami berdua! Jika Yugyeom yang sebaik itu mati, bangsat-bangsat pembunuhnya juga harus mati!"

Rough ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang