"Nak Hanna, maaf ya Mbok nggak bisa ikut nungguin Bapak. Tadi Mbok dapet telepon kalau anak Mbok dapet shift malem dari tempat kerjanya, jadi Mbok harus nemenin cucu di rumah." Mbok Marni menghampiri Hanna yang saat ini duduk bersama Aira-yang sedang tertidur di ruang tunggu.
"Iya, nggak pa-pa Mbok. Makasih ya Mbok dari tadi udah mau nemenin Hanna sama Aira di sini."
"Nggak usah makasih, Mbok tadi juga panik pas temen Bapak nelepon ke rumah bilang kalau Bapak masuk rumah sakit," sahut Mbok Marni.
Hanna mengangguk paham. Gadis itu sekilas menatap Aira yang sudah tertidur lelap dengan kepala yang bersandar pada lengan Hanna.
Saat tadi Hanna tiba di rumah sakit, Aira langsung mengadu tentang penyakit Papa pada Hanna. Gadis itu menjelaskan bahwa telah terjadi penyempitan di dua saluran pembuluh darah jantung Papa sehingga menyebabkan Papa terkena serangan jantung saat sedang bekerja di kantornya.
Mendengar penjelasan Aira sontak saja Hanna langsung dilanda awan kelabu. Apakah ini pertanda bahwa Hanna anak yang gagal karena tidak bisa memperhatikan Papa dengan lebih baik?
Ya, Hanna rasa begitu.
"Nak Hanna yang sabar ya, Mbok yakin Bapak pasti bisa sehat lagi. Aira juga bilang gitu ke Mbok."
Ucapan Mbok Marni seakan memberi kekuatan untuk Hanna, gadis itu tersenyum dengan mata yang sudah terlihat sayu. "Iya, Mbok."
"Kalau gitu Mbok pulang dulu ya," sahut Mbok Marni yang bersiap pergi. "Oh iya Nak Hanna, tadi Aira bilang kalau besok Tante Rina sama suaminya mau ke sini."
Senyum di bibir Hanna perlahan pudar saat Mbok Marni mengatakan kalimat terakhirnya.
***
Tidak ada keramahan yang bisa Hanna dapatkan dari tatapan Tante Rina kepadanya. Yang ada hanya tatapan tajam seperti pedang yang siap menusuknya kapanpun. Hanna sekarang duduk di kantin rumah sakit berhadapan dengan wanita itu beserta Aira di samping kirinya.
Tadi dua jam setelah kedatangan Tante Rina dan Om Deri-suami Tante Rina, Aira mengeluh lapar sehingga Tante Rina mengajaknya untuk makan di kantin rumah sakit, tapi gadis itu tidak mau makan jika tidak bersama Hanna. Karena itu sekarang Hanna ikut bersama mereka, meninggalkan Om Deri yang sendirian menjaga Papa.
Kalau boleh memilih, Hanna lebih baik menahan lapar sambil menunggu Papa bersama Om Deri daripada harus makan bersama wanita yang sangat membenci kehadirannya ini.
"Oh iya, kalau misalkan Tante sama Om Deri tinggal di rumah Papa sampai Papa sembuh, terus kerjaan Om Deri di Bandung gimana, Tan?" tanya Aira tiba-tiba.
"Nanti tiga hari sekali Om Deri pulang ke Bandung buat ngecek kerjaannya," sahut Tante Rina ramah. Intonasinya berbeda sekali jika wanita itu berhadapan dengan Aira.
"Nanti Aira minta oleh-oleh ke Om Deri ah."
Tante Rina tertawa. "Boleh, boleh."
Hanna hanya menyimak perbincangan mereka tanpa ada niat sedikitpun untuk nimbrung. Ia tahu Tante Rina tidak akan suka itu. Bagi wanita itu momen kebersamaannya bersama keponakan satu-satunya adalah hal yang tidak boleh Hanna ganggu.
"Permisi, pesanan untuk meja nomor 7. Bakso urat satu, nasi goreng seafood satu, kwetiau goreng satu sama es tehnya 3, ya." Seorang pelayan dari salah satu stan makanan menaruh makanan di meja sesuai dengan pesanannya.
"Makasih, Mba."
Pelayan itu mengangguk ramah sebelum meninggalkan meja mereka.
"Nih dia pesanannya Aira."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanzel
Teen FictionHanna atau Vandra? Mungkin itu adalah pilihan yang sulit bagi Rozel. Rozel sangat menyayangi Hanna sebagai pacarnya, ia juga menyayangi Vandra sebagai sahabatnya. Namun semua perhatian yang Rozel berikan kepada Vandra jauh melebihi kata sahabat. Hi...