Tatapan aneh yang diberikan para tamu undangan tidak membuat Ajeng berhenti untuk mengumpat dengan keras. Ia benar-benar marah dengan perlakuan Vandra kepada dirinya dan juga teman-temannya.
"Sialan! Jauh-jauh dateng ke sini cuma buat minum es teh!" sungutnya.
Ternyata undangan Vandra memiliki tingkatan. Amplop berwarna hitam dengan tingkatan paling tinggi Vandra berikan untuk orang-orang terdekatnya, sedang amplop berwarna biru dengan tingkat yang hampir serupa dengan amplop hitam Vandra berikan untuk teman-teman angkatan di sekolahnya.
Lalu amplop yang putih?
Untuk amplop berwarna putih—yang Vandra berikan pada Hanna dan teman-temannya adalah tingkatan terendah. Mereka tidak diizinkan mengambil minuman atau makanan dari stand yang memiliki lambang dengan warna biru dan hitam. Hanya makanan atau minuman dari stand dengan lambang yang berwarna putih saja yang mereka boleh ambil. Sedang mereka yang mempunyai undangan berwarna biru dan hitam dibebaskan mengambil makanan atau minuman dari stand mana pun.
Jangan tanyakan makanan atau minuman apa saja yang ada di stand putih, semuanya tampak biasa dan membosankan. Sangat berbeda dengan stand biru dan hitam yang memiliki beragam makanan dan minuman yang sangat menggugah selera.
"Gue rasa cuma kita doang nih yang dapet undangan warna putih. Tai banget si Vandra! Kita dikotak-kotakin anjir! Kesel banget gue!" ujar Ajeng masih dengan dumelannya.
Hanna sebetulnya juga kesal dengan perlakuan Vandra. Hanya karena rasa tidak suka, gadis itu mengkotak-kotakan tamu sesuai dengan keinginannya. Jika begini, lebih baik gadis itu tidak usah mengundang mereka—ah tidak, bukan gadis itu. Ajeng yang seharusnya tidak mengambil undangan di tangan Vandra saat itu, sehingga mereka tidak akan berakhir di tempat ini.
Rasanya Hanna sangat muak.
Jika bukan karena Ajeng yang masih ingin mempertahankan harga dirinya, mereka mungkin sudah pergi sejak tadi. Apalagi saat Hanna melihat Vandra yang masih saja terus bergelayut manja di lengan Rozel sejak mereka semua berada di lobi hotel. Hanna harus terus-menerus menahan emosinya dengan mengepalkan tangannya.
Wajar saja. Bagaimanapun Rozel menyakitinya, Hanna tetap tidak bisa membohongi hatinya. Ia masih menyayangi cowok itu. Bahkan tadi sebelum memasuki area lobi hotel, degup jantungnya masih saja berdetak kencang saat dari jauh Hanna melihat Rozel dengan setelan jas hitamnya. Cowok itu masih terlihat indah di matanya.
"Kan gue bilang juga apa, seharusnya lo nggak usah ngambil undangannya waktu itu!" balas Aurin.
"Mau pulang aja?" tanya Kanya pada ketiga temannya.
"Nanti dulu, gue masih mau liat gelagat si Mak Lampir," ujar Ajeng.
"Nggak bakal kelar Jeng kalau lo ngeliatin gelagat dia terus. Yang ada malah makin bikin emosi," sahut Aurin.
"Lo tadi liat nggak sih waktu di lobi si Vandra sengaja banget meluk lengannya Rozel pas lewat di depan Hanna?" tanya Aurin dengan nada kesal. "Padahal gue tau tuh si Rozel nggak nyaman banget dipeluk kayak gitu."
"Ya kan calon tunangan, Rin. Pastilah harus dipeluk kayak gitu, biar nggak digondol orang," timpal Hanna sarkas.
"Lo kali Han yang gondol Rozel," balas Kanya. Namun Hanna tidak merespon kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanzel
Teen FictionHanna atau Vandra? Mungkin itu adalah pilihan yang sulit bagi Rozel. Rozel sangat menyayangi Hanna sebagai pacarnya, ia juga menyayangi Vandra sebagai sahabatnya. Namun semua perhatian yang Rozel berikan kepada Vandra jauh melebihi kata sahabat. Hi...