9

16.1K 923 54
                                    

"Makasih ya, Pak," ujar Hanna setelah memberikan uang kepada sang pengemudi.

Hanna turun dari taksi dan berlari kecil menuju rumahnya karena hujan masih belum berhenti. Namun langkah kecilnya perlahan terhenti saat melihat Rozel berada di depan rumahnya dengan masih mengenakan seragam sekolah.

Hanna tidak peduli, ia sedang tidak ingin bertemu dengan Rozel saat ini. Buru-buru Hanna melanjutkan lagi langkahnya. Gadis itu melewati Rozel yang masih duduk di atas motornya. Dengan cepat Rozel turun dan menahan gerakan tangan Hanna yang ingin membuka pintu gerbang.

"Na," panggil Rozel pelan, namun Hanna tidak mempedulikannya.

Sekali lagi Rozel memanggilnya, disertai dengan tangannya yang menggoyang-goyangkan tangan Hanna dengan pelan.

Kesal karena merasa pintu gerbangnya sulit dibuka, ditambah dengan kehadiran Rozel membuatnya jadi ingin marah-marah. Hanna menyentak tangan Rozel. "Ini lagi hujan Zel! Kamu nggak liat aku buru-buru?! Baju aku basah!"

"Oke aku ngerti, tapi dengerin aku sebentar aja. Ya?"

"Kali ini apa?"

"Aku minta maaf, Na."

"Lagi? Kenapa?" nada Hanna terdengar sarkas.

"Karena udah bohongin kamu. Aku-,"

"Kamu mau bilang kalau kamu bohong karena takut aku marah saat tau camilan itu buat Vandra, iya?"

"Na-,"

"Atau kamu juga mau bilang kalau kamu bohong soal pergi ke basecamp karena nggak mau aku marah? Itu kan yang mau kamu bilang?" mengingat Rozel yang membohonginya membuat hati Hanna kembali terluka.

"Aku nggak pa-pa kalau kamu mau ketemu sama Vandra. Tapi jangan bohong, apalagi sampe bikin alesan takut kalau aku marah."

"Tapi emang itu kenyataannya, kan?" ucap Rozel. "Awal-awal Vandra dateng, kamu selalu marah kalau tau aku lagi sama Vandra. Karena itu aku terpaksa bohong Na, aku nggak mau kamu marah.''

"Tapi kamu udah janji nggak akan bohong lagi Zel, dan lagi cewek mana yang nggak akan marah kalau tau cowoknya lagi sama cewek lain, berduaan lagi."

"Na, Vandra itu sahabat aku dari kecil, aku udah deket sama dia jauh sebelum aku deket sama kamu. Harusnya kamu tau betul kalau Vandra itu udah bergantung sama aku."

"YA HARUSNYA KAMU JANGAN TERUS BIARIN VANDRA BERGANTUNG SAMA KAMU, ROZEL!" tidak tahan lagi, air mata Hanna mengalir begitu saja dari kedua pelupuk matanya. Tidakkah Rozel sadar ucapannya itu menyakiti dirinya?

"Emangnya dia nggak bisa mandiri sedikit? Aku tau papanya lagi ada kerjaan di Jepang jadi dia sendirian di rumah, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya minta kamu buat ini itu padahal dia masih punya bibi di rumah. Dari awal aku liat Vandra, aku tau kalau dia punya sesuatu yang lebih untuk kamu, Zel.''

"Na, aku sama Vandra udah nggak ketemu selama tiga tahun, jadi wajar kalau perilaku dia begitu.''

"Nggak! Nggak ada yang wajar! Pikiran kamu tuh udah ketutup sampai mana sih?!" omel Hanna. "Satu bulan yang lalu kita berantem karena Vandra yang suka peluk kamu. Harusnya kamu bisa mikir, kalau Vandra emang hargai aku sebagai pacar kamu dia nggak akan berani peluk-peluk kamu di belakang aku! Tapi nyatanya dia berani ... karena apa? Ya harusnya kamu tau karena apa, Zel."

Mendengar ucapan Hanna, Rozel semakin frustasi. "Terus sekarang kamu mau aku gimana, Na? Aku harus apa biar kamu nggak kayak gini?''

Hanna mengelap air matanya. "Jangan tanya aku, kuncinya ada di kamu. Kamu sebagai laki-laki harusnya bisa paham sama keadaan yang ada di depan mata. Lebih baik sekarang kamu pulang, bersihin badan kamu itu. Aku mau masuk, Papa udah nunggu."

HanzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang