Chapter 12 - Perlawanan

534 190 12
                                    

Dingin. Koridor rumah sakit ini sangat dingin. Pendingin ruangan bekerja dengan baik. Aku yang basah kuyup dan berlumuran darah menggigil kedinginan.

Aku tidak perlu khawatir terkena demam. Aku jarang sakit. Tubuhku kuat. Sekarang pun aku tidak terluka walaupun pakaianku basah dan berlumuran darah. Yang perlu kukhawatirkan sekarang adalah kondisi Hugo. Darah yang ada di bajuku adalah darahnya.

Beberapa puluh menit yang lalu, seorang perampok menyerang aku dan Hugo saat kami sedang berteduh di gazebo taman menunggu hujan reda. Hugo berusaha melindungiku.

Anak berusia 12 tahun yang lemah melawan perampok dewasa? Kau sudah tahu hasilnya akan bagaimana.

Entah separah apa kondisi luka Hugo, dada kanannya berlubang ditusuk oleh perampok itu. Aku langsung menendang selangkangan perampok itu dan kabur sambil membopong Hugo, mencari seseorang yang bisa membantu. Aku tidak akan sempat menelepon 911 sambil menghadapi perampok. Dia akan merebut ponselku dengan cepat sebelum aku menyalakannya.

Sebuah mobil melaju di jalanan basah yang sepi. Melihat aku yang sedang kesusahan berjalan sambil membopong Hugo, tentu pengemudinya akan berhenti dan menolong jika dia memiliki hati nurani.

Perampok yang tadi mengejar kami. Sebelum si pengemudi mobil mengizinkanku menumpang, aku sudah menggedor-gedor dan membuka pintu mobilnya yang kebetulan tidak terkunci. Setelah masuk dan mengangkat Hugo ke dalam, aku langsung berseru meminta pergi ke rumah sakit.

Dan sekarang, aku sedang menunggu Hugo keluar dari ruang operasi.

Banyak orang berlalu-lalang di depanku. Mereka pasti memerhatikan penampilanku yang berlumuran darah. Bisa jadi satu dua orang mengenali wajahku. Hampir tidak ada lagi orang yang mengenakan masker, termasuk aku. Pandemi flu ganas itu sudah reda. Cukuplah dua tahun saja meneror manusia dengan segala jenis varian virusnya dan berbagai konspirasi yang dibuat oleh oknum tidak bertanggung jawab. Sekarang flu ganas itu sudah dianggap flu biasa.

Orang tua Hugo datang. Mereka juga datang bersama Ayah. Beliau menjemputku, menyuruhku untuk membersihkan tubuh dan menjenguk Hugo besok saja. Aku berusaha patuh. Sekarang bukan waktunya aku merengek manja pada Ayah.

Pikiranku berkecamuk. Sepanjang malam aku terus memikirkan kondisi Hugo. Aku tidak ingin masuk SMP tanpanya, padahal kami baru saja diterima di kelas akselerasi. Andai aku tidak mengajak Hugo pergi ke taman untuk main Pokemon Go, hal itu takkan terjadi.

Keesokan harinya sepulang sekolah, aku langsung pergi ke rumah sakit. Kudengar operasi Hugo berhasil. Lubang di paru-parunya telah ditutup. Kondisi asmanya pun membaik. Dia juga sudah siuman.

"Hehe." Hugo tertawa menyeringai padaku saat aku masuk ke dalam kamarnya. Aku hampir menampar wajahnya yang seakan tidak menahan rasa sakit apapun.

"Kemarin kau nangis, 'kan? Akhirnya aku bisa melihatmu menangis." Dia terkekeh.

"Aku tidak menangis!" seruku. Suaraku agak menggema. Di kamar ini hanya ada aku dan Hugo. Ibunya baru saja keluar saat aku masuk ke kamarnya. Ayahnya, mungkin sedang bekerja.

"Mengaku saja. Saat kau membopongku ke mobil orang baik hati itu, kau menangis sesenggukan. Waktu itu aku belum pingsan, lho."

Aku tertunduk. Kuakui aku memang menangis mengkhawatirkannya.

"Kupikir ... kupikir kau akan ... meninggal .... Jadi ... aku nangis. Aku tidak pernah menghadapi situasi itu."

Hugo lalu tertawa hingga dia meringis menahan sakit di dadanya. Meski begitu, dia masih menunjukkan seringai tawanya padaku.

IsolatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang