si Pemerhati

69 9 0
                                    

"Nira!" Teriakan yang menggema di seluruh gedung itu membuat Nira dan lainnya mengalihkan pandangannya pada si Pemilik suara. Tara berlari dari pintu masuk dengan wajah marah. Lelaki itu sudah menunggu Nira selama hampir setengah jam, tetapi yang dia tunggu tak kunjung muncul batang hidungnya.

Akhirnya ia mencoba bertanya pada beberapa anak, dan kebetulan ada salah seorang teman sekelas gadis itu yang dengan canggung mau memberitahunya kemana Nira pergi. Saat memasuki gedung olah raga, amarah Tara terpompa hingga ke ubun-ubun. Pemandangan Nira yang terduduk di lantai dengan tangan yang diinjak membuat Tara meradang. Ia melayangkan tinjunya pada bocah lancang yang tengah berdiri di hadapan Nira.

Lelaki yang terkena tinju Tara jatuh tersungkur dan mengeram kesakitan. Tak berhenti begitu saja, Tara menyudutkan lelaki itu dan meninjunya hingga beberapa kali sebelum akhirnya Anton menyerangnya. Tapi entah kekuatan darimana yang Tara pakai, ia sama sekali tak merasa sakit oleh serangan itu. Serangan baliknya membuat dua lelaki sma itu tergeletak tak berdaya.

Tara tak kunjung menghentikan pukulannya pada kedua lelaki itu, hingga membuat Nira ketakutan. "Bang! Stop bang!" teriak Nira, berusaha menghentikan lelaki yang sedang menggila itu.

Dengan terpaksa lelaki itu berhenti melakukan aksinya, dan berbalik untuk melihat keadaan Nira. Gadis yang masih terduduk pada posisinya itu berusaha sekuat tenaga mencegah air matanya keluar. Ia kesakitan sekaligus ketakutan hingga tak mampu menggerakkan badannya. Tara tersenyum ke arahnya dan menggeleng. Ia tahu apa yang ia lakukan, ia tak menyerang bagian vital kedua bocah itu, Tara memastikan cidera mereka tak terlalu parah. Untuk pertama kalinya Tara merasakan manfaat dari belajar tinju.

Dara dan kedua temannya yang lain melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Siapa lo hah?! Berani-beraninya ikut campur urusan orang lain?"

Pandangan dingin Tara beralih pada gadis kasar itu, "Jadi lo ya?"

"A-apa?" Langkah Dara mundur sedikit demi sedikit melihat lelaki yang baru saja menghajar dua temannya berjalan mendekatinya.

"Lo dalangnya!" gertak Tara membuat gadis di hadapannya berdiri ketakutan. Kedua teman Dara yang lain seakan membeku di tempatnya dan tak bisa melakukan apa-apa.

"Te-terus kenapa hah? Gue gak kenal lo dan seinget gue cewek itu gak punya abang. Jadi, lo siapanya? Lo pikir lo bisa bebas dari masalah gitu aja abis ngehajar dua bocah sma? Pasti lo bakal di DO! Apa lagi kalau lo nyakitin gue! Keluarga lo bahkan gak akan selamat!"

Bukannya mundur, Tara malah tersenyum miring dan mencengkeram kerah gadis itu. "Gue gak takut."

Dengan satu kalimat itu saja, Dara tahu lelaki itu bisa melakukan apapun padanya. Ia dengan panik menyuruh teman-temannya untuk melapor pada guru mereka. Tara menaikkan satu alisnya, dengan kasar ia melepaskan gadis itu. Lelaki itu mengembalikan fokusnya pada Nira yang sedari tadi terdiam.

"Nir," panggil Tara dengan halus sembari memeriksa tubuh gadis itu.

Lutut dan lengan Nira terluka, sikunya bahkan mengelurkan banyak darah, pipinya juga memerah, dan sudut bibirnya sobek. Pandangan mata gadis itu terlihat tak fokus, nafasnya juga tak beraturan. "Bang, gimana ini? Abang bakal kena masalah."

"Ssstt, nggak bakal ada apa-apa. Kita rawat dulu aja lukamu." Tara berusaha menenangkan Nira yang tubuhnya bergetar hebat. Tak lama kemudian kedua gadis teman dari Dara kembali dengan beberapa orang guru yang terlihat panik. Dan Tara tahu, dia benar-benar berada dalam masalah.

Keesokan harinya Tara terpaksa berada di tempat yang tidak ia inginkan. Ia sedang duduk di ruang kepala sekolah Nira dengan wajah tanpa ekspresi. Tak hanya ada Tara, di sana ada Nira dan anak-anak lain yang terlibat dalam kejadian tak menyenangkan kemarin. Dua lelaki yang Tara hajar terlihat duduk di ujung ruangan dengan memar dan bengkak di wajah mereka. Papa Nira juga hadir di sana bersama beberapa orang tua lain yang memamerkan ekspresi serius.

"Jadi, dari yang sudah kami dengar, Nira merupakan korban pembulian dari anak-anak bapak dan ibu, lalu dek Tara di sini datang untuk membantu. Karena kedua belah pihak dirugikan saya rasa ada baiknya agar hal ini diselesaikan dengan cara kekeluargaan," tutur kepala sekolah saat memulai perbincangan kala itu.

Tara menelengkan kepalanya, ia tak melihat ada rasa bersalah dari wajah orang-orang yang ada di ruangan ini, anehnya lagi ekspresi di wajah papa Nira cukup mengganggunya. "Saya rasa anak-anak itu perlu diberikan hukuman lebih atas tindakan mereka," ujar Tara.

"Kamu siapa ngatur-ngatur? Kamu bisa saya tuntut atas tindak penganiayaan loh ya, tindakanmu tidak bisa dianggap pembelaan karna kamu bukan korbannya. Lagian mana orang tuamu?!" bantah salah seorang orang tua yang mendampingi Dara dan teman-temannya.

Tara menaikkan alisnya menantang, "Saya sudah masuk usia dewasa jadi tidak perlu orang tua untuk menyelesaikan urusan saya."

"Kalau begitu kamu tanggung jawab!"

"Hhhh, biaya rumah sakit anak-anak itu, saya yang membayar," jawab Tara sembari menunjuk kedua anak yang mengalihkan pandangan darinya.

Salah seorang ibu menggebrak meja di depannya, "Kamu ini! Kalau saja cidera anak saya parah atau samapai dia kehilangan nyawa memangnya kamu bisa tanggung jawab?!"

Nira yang sebelumnya hanya menunduk diam memberanikan diri untuk mendongak, "Lalu bagaimana dengan saya?"

"Kamu kenapa memangnya hah? Lukamu kecil, kamu bahkan terlihat lebih sehat dari anak saya!"

"Putra ibu melecehkan saya, dia dan teman-temannya melukai jiwa saya. Luka fisik yang saya derita memang tak separah itu, tapi jika luka itu diberikan terus menerus apakah ibu pikir saya bisa tetap baik-baik saja?"

Dara terkekeh, "Orang yang jiwanya luka gak bakal bicara sepanjang lebar itu. Lagipula cowok kuliahan itu, bukankah sebaiknya dilaporkan ke univnya Dad? Biar dia bisa di depak dari kampus."

"Oh dia anak kuliah... Mungkin masalahnya tinggal di adek ini aja ya, bisa saya lihat dari Papanya Nira dan Nira juga tidak ingin masalah ini berlarut-larut." ujar pria paruh baya yang sedari tadi menyesap teh di hadapannya.

Nira mengalihkan pandangan pada papanya yang terlihat acuh tak acuh dan hanya mengangguk mendengar pernyataan dari ayah Dara. Tara yang sedari awal sudah merasa aneh hanya bisa menatap ayah gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya.

"Jadi, kamu ingin berlutut dan memohon maaf atau kami laporkan?" tanya ayah Dara pada Tara.

Lelaki yang masih bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran ayah Nira itu menanggapi pertanyaan yang diberikan padanya dengan datar. "Silahkan lakukan yang anda inginkan. Jika ada yang ingin dibicarakan selanjutnya anda bisa hubungi pengacara saya."

Tara mengeluarkan kartu nama berisi informasi salah satu pengacara perusahaan Papanya. Semalam ia sudah membincangkan kejadian kemarin bersama Mama dan Papanya. Mamanya yang mengetahui itu memaksa agar ia hadir di pertemuan ini dan memastikan agar anak-anak kurang ajar itu tau rasa. Tetapi Tara melarang Mamanya untuk melakukan hal itu karena ia tahu Nira hanya akan merasa semakin bersalah jika Mamanya ikut campur masalah ini.

"Oh iya satu lagi, sebaiknya bapak bersiap ya. Karena kemungkinan Abimanyu Corp akan mencabut investasi untuk perusahaan Pak Galang. Jika untuk mendidik satu anak putri saja cukup sulit, kami ragu perusahaan bapak bisa berjalan dengan semestinya."

Setelah mengucapkan itu Tara mengajak Nira pergi dari ruangan, meninggalkan orang lain di sana dengan tatapan terkejut mereka. 

Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang