Pedulikan

70 7 2
                                    

Suara dering telepon terdengar nyaring di ruang keluarga Abimanyu. Tara dengan tak bersemangat mengangkat telepon yang tengah berdering itu. Ia masih mengenakan sarungnya seusai sholat magrib bersama keluarganya. Tara yang sebelumnya tak berminat kini membulatkan matanya dengan sempurna.

Dari seberang, Bi Tina menelpon dengan nada khawatir. Wanita paruh baya itu memutuskan untuk pergi bekerja setelah keadaan anaknya mulai membaik. Ia menunggu Nira untuk pulang, akan tetapi gadis itu tak kunjung juga datang dan ponselnya juga tak bisa dihubungi. Tentunya hal itu membuat Bi Tina khawatir bukan kepalang. Ia memutuskan untuk menelpon rumah keluarga Tara karena itu satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya untuk Nira singgahi.

Sayangnya ia salah karena Nira juga tak sedang berada di sana. Tara merasakan kekhawatiran, ia tahu Nira akan selalu mengabari wanita paruh baya itu jika gadis itu memutuskan untuk pulang malam. Tanpa banyak bicara ia segera menyambar kunci motornya dan bersiap untuk pergi tepat setelah menutup sambungan telepon dengan Bi Tina.

Tara tahu ada yang aneh dengan Nira akhir-akhir ini, gadis itu menjadi lebih murung daripada sebelumnya. Ia tak yakin yang menyebabkan Nira seperti itu adalah perjodohan keluarga mereka atau ada alasan lain. Yang pasti saat ini ia benar-benar khawatir.

Ia hampir lupa pamit pada Mamanya jika wanita itu tak muncul dan menanyakan apa yang membuatnya terburu-buru.

"Mau kemana Tara? Baru juga magrib udah mau keluar aja!" seru wanita yang masih mengenakan mukenahnya itu.

Tara membuka mulut, namun menutupnya kembali setelah menyadari Mamanya tak akan duduk tenang jika ia memberitahukan situasi saat ini. "Mau keluar bentar Ma."

Wanita itu mengerutkan alisnya melihat sang Putra terburu-buru melepas sarungnya dan menyisakan celana selutut. Tanpa banyak bicara lagi Tara melontarkan senyuman ragu dan pergi begitu saja sebelum Mamanya sempat mengatakan apapun. Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya menatap kepergian Tara.

"Mau kemana Tara Ma?" tanya Ethan yang baru selesai melantunkan ayat suci dari ruang sholatan rumah mereka.

Mamanya mengedikkan bahu menandakan ketidaktahuannya. "Nggak tahu adekmu itu, ditanya juga cuma senyum doang."

Ethan mengangguk paham, ia duduk di depan ruang makan menatap Mamanya yang mempersiapkan meja makan dengan mukena masih melekat ditubuhnya. Sekelebat gambaran terlintas di kepalanya, wanita yang baru saja ia temui di kampus tadi. Sebuah pertemuan yang tidak mampu ia antisipasi.

Wajah gadis itu terlihat lebih berseri dari biasanya. Sofi, sahabat dan juga gadis yang selalu mengisi relung hati Ethan. Ia selalu takjub melihat betapa vokal gadis itu selama menjadi wakilnya ketika ia menjabat sebagai ketua osis. Tak seperti gadis lain, penampilannya yang sopan dan santun menambahkan wibawa dalam dirinya.

Hari ini ia bertemu kembali dengan gadis itu dalam salah satu forum BEM kampus mereka. Tak perlu lama, ia dapat langsung mengenali gadis itu di ruangan yang sama dengannya. Fakultas mereka yang berbeda membuatnya berpikir ia tak pernah bertemu lagi di kampus dengan jarak yang cukup jauh antara dua gedung mereka.

Lelaki itu tak mengharapkan pertemuan hari ini, tetapi melihat gadis itu lagi dengan lembut menyapanya, Ethan tak mungkin tak bahagia.

"Yang satunya buru-buru keluar, satu lagi senyam senyum gak jelas. Duh anak-anak Mama pada kenapa dah," ujar Titi sembari mengaduk masakan yang tengah ia hangatkan.

Ethan mengalihkan pandangannya pada sang Mama dan tersenyum malu. "Sini Ethan bantuin," ucap Ethan selagi bangkit menghampiri Mamanya.

"Duh, anak Mama perhatian bener. Ini jangan lupa dimatiin kalau udah mendidih, Mama mau manggil Papamu." Titi berlalu dari dapur untuk menemui suaminya, meninggalkan Ethan sendirian.

Lelaki itu segera mematikan kompor setelah masakan yang ada di dalam panci mendidih. Suara dering ponsel dari ruang keluarga menghentikan gerakannya saat hendak duduk di kursi. Mamanya menerikkan namanya, menandakan ponselnyalah yang tengah berbunyi dari sana.

Ethan segea menuju ruang keluarga dan mengangkat telepon itu. "Bang," suara bass dari seberang membuatnya mengernyitkan alisnya.

"Apaan Tar?"

"Dateng ke SMA 4, bawa mobil, cepet."

"Hah?" Ethan bingung dengan permintaan Tara dan suara saudaranya itu yang terdengar cukup kesal.

"Cepet Bang, gaada waktu."

"Iya, iya bentar dul-"

"Oke kutunggu."

Belum sempat Ethan menyelesaikan kalimatnya, Tara sudah terlebih dulu menjawab dan memutuskan panggilan sepihak. Ethan hanya bisa menghela nafas dan sekali lagi tak mengerti dengan apa yang dipikirkan adiknya itu.

Ethan menuruti permintaan Tara pergi menuju tempat saudaranya itu setelah meminta izin pada orang tuanya. Titi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kedua putranya yang kian hari kian aneh perilakunya.

Ethan berhenti di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup dan terlihat gelap karena hanya beberapa tempat yang mendapat penyinaran dari lampu. Ia melihat motor Tara terparkir di samping jalan, tak jauh dari tempatnya berhenti. Ia segera menelpon Tara, mengabarkan bahwa ia sudah sampai di tempat itu.

Tak menunggu lama, Tara datang dengan langkah lebar dan tangan yang sibuk menahan beban seseorang di punggungnya. Ethan membukakan pintu penumpang ketika saudaranya itu mendekat dan mengisyaratkan untuk membuka pintu. Setelah cukup dekat, Ethan mengenali siapa yang ada dalam gendongan adiknya itu.

Tara dengan sigap menurunkan Nira di kursi penumpang. Lelaki itu dengan pandangan khawatirnya memasangkan sabuk pengaman pada Nira yang sudah menutupkan matanya karena tak tahan lagi dengan pusing di kepalanya.

"Nira?" Ucapan ragu Ethan membuat Tara mendengus. Lelaki itu membalikkan badannya dan menutup pintu mobil.

"Cepet bawa pulang," ucap Tara tanpa menatap kakaknya.

Ethan tak yakin ia harus bertanya atau tidak tentang apa yang terjadi pada gadis itu, "Lo gimana?"

"Gue pake motor Bang, lo cepet pulang... kayaknya dia demam."

Tanpa mengharapkan balasan dari Ethan, Tara berjalan menuju motornya dan menyalakan mesin bersiap untuk pergi. Ia menengok ke arah saudaranya yang masih menatapnya sembari memberikan isyarat agar Ethan segera masuk ke dalam mobil.

Ethan menghentikan kegiatan berpikirnya, sepertinya berpikir bukan hal yang tepat untuk dilakukan saat ini, dan memilih melakukan apa yang Tara minta.

Tara melihat mobil yang dikendarai kakaknya meninggalkan tempat dan membuang nafas lega. Ia menghentikan mesin motornya, enggan untuk beranjak dari tempatnya. Tangannya masih bergetar dan punggungnya terasa agak basah. Mencari Nira ke sekolah gadis itu adalah satu-satunya yang ia pikirkan ketika dalam perjalanan.

Tetapi ia tak menyangka akan menemukan gadis itu di dalam gudang dengan keadaan yang mengerikan. Dengan badan yang menggigil Nira menggumamkan namanya saat melihatnya, dan tak lama kemudian gadis itu tak sadarkan diri.

Lelaki itu melepaskan helm yang ia kenakan dan menyugar rambutnya dengan kasar. Tara mengumpat dalam hati, ia tak habis pikir siswa SMA bisa bertindak seperti itu pada temannya sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis itu. ia kesal pada dirinya sendiri karena tidak mengerti apa yang terjadi dengan orang yang sangat ia pedulikan. Satu kata untuk orang-orang yang sudah menyakiti Nira dan untuk dirinya sendiri.

"SIALAN!!!" 

Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang