Bidak Monopoli

93 8 2
                                    

Nira menatap kecewa ke arah pintu kamar Ethan. Ini kali pertamanya bertemu dengan lelaki itu setelah hampir satu tahun, tetapi lelaki itu melewatinya begitu saja bahkan tanpa menyapa. Gadis itu tersenyum kecil ke arah Titi yang terheran pada tingkah anak sulungnya.

"Sorry ya sayang, Ethan emang akhir-akhir ini sibuk banget. Most of the time dia di luar rumah, pulang cuman buat tidur doang. Itu kemarin dia seharian di kosan temennya nglembur skripsi," tutur Titi.

Gadis itu tahu Ethan sangat aktif mengikuti kegiatan kampus, dia sering melihat lelaki itu walau Ethan tak menyadari keberadaan Nira. Memang lelaki itu selalu menjadi pusat perhatian, mewakili fakultasnya dalam berbagai acara. Menjadi pembicara di berbagai seminar mewakili universitas, tentu saja Ethan tak akan memiliki waktu hanya untuk sekedar merasakan keberadaannya.

"Nggak enak badan?" tanya Tara yang baru saja tiba di ruang keluarga dan duduk di samping Nira. Lelaki itu spontan menanyakan keadaan gadis yang tampak pucat di sampingnya.

Nira otomatis menggeleng, "Aku sehat kok Bang."

Tara hanya mengangguk sembari menatap kue-kue yang berjajar di meja ruangan. Ia menatap Mamanya yang tengah memotong brownies menjadi beberapa bagian. "Buat apa kue banyak banget Ma?"

"Mumpung Mama lagi free gak ada kerjaan, pengen banget bikin-bikin kue sama calon mantu. Jadi keterusan sampe segini banyaknya deh," jawab Titi sambil tersenyum menatap Nira.

Rona merah kembali singgah di pipi Nira, ia kembali sadar statusnya di keluarga ini. Tara menatap paras gadis disampingnya itu, rona merah yang menjalar sepanjang pipi Nira memunculkan kembali warna diwajahnya. Lelaki itu menghela nafas, hanya dengan sedikit menyinggung Ethan, gadis di sampingnya bisa menjadi orang paling bahagia di dunia.

--@@--

Ethan menatap kosong ke arah dinding kamarnya yang tercat abu tua. Tak ada yang bisa ia lakukan di dalam kamar selain memikirkan tentang kebimbangan yang dibawa Sofi. Apa perasaannya selama ini salah? Mungkin saja Sofi tak sebaik yang ia pikirkan selama ini.

Ethan mengacak rambut ikalnya yang sudah mulai panjang dengan kasar. Jika keluar sekarang ia akan bertemu Nira, seseorang yang ia jauhi mati-matian. Lelaki itu berdecak dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. Diusianya yang sudah 21 tahun ini sepertinya ia kembali mengalami masa pubertas.

Suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh, di sana Tara berdiri dengan ekspresi bosan. "Get out."

Suara dingin Tara membuat Ethan menaikkan salah satu alisnya. "Napa?"

"Hargai yang datang," ucap adiknya itu singkat dan menutup pintu dengan kasar. Ethan memejamkan matanya, ternyata bukan hanya dia yang dalam masa pubertas. Jika saja Tara mau mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya semuanya akan lebih mudah bagi Ethan. Tetapi percuma membaca pikiran saudaranya itu, tak akan ada yang bisa memahaminya.

Dengan berat hati lelaki itu bangkit dari ranjangnya. Benar yang Tara katakan, berada di sini lebih lama hanya membuat yang diluar sana tersakiti. "Kuenya kelihatan enak nih."

Suara lelaki itu membuat Nira menoleh tanpa bisa menyembunyikan kekagetannya. Ia tak menyangka lelaki itu akan keluar dan memberikan komentar seperti biasa. "Nah, anak Mama satu ini akhirnya keluar juga dari sarangnya," ucap Titi dengan perhatian.

Ethan mengangguk sambil tersenyum, "Sama Tara disuruh keluar, ternyata ada Nira di sini." Bohong, batin Nira. Gadis itu tersenyum kecut, jelas sekali mereka beradu pandang sebelumnya.

"Tuh kan, belum tua matanya udah nggak fokus. Dari tadi jelas-jelas Nira di sini. Haduh, gini ini kalau liat layar laptop terus," ujar Titi sambil menggelengkan kepalanya.

Putranya terkekeh dan menyahut, "Kan niruin Mama yang hobinya liat layar laptop terus."

Nira tersenyum melihat interaksi antara anak dan ibu itu. Jika saja istri Papanya mau mengisi kekosongan dalam hari-hari Nira, mungkin mereka bisa terlihat seperti itu.

"Ma, aku keluar dulu," ujar Tara yang baru saja keluar dari kamarnya dengan membawa ransel. "Mau kemana Bang?" tanya Nira.

Tara tersenyum dan menghampiri gadis itu, "Mau ikut?"

Titi segera berdecak, "Kalau mau main, main aja sendiri. Hari ini pokoknya Nira sama Mama."

Putra bungsunya hanya mengangguk dan mengacak rambut Nira sebelum pamit pergi. Tara berhenti sejenak dan membalas tatapan Ethan padanya dengan senyuman. Lelaki itu menatap bingung ke arah adiknya itu, sedari tadi ia tak melepaskan pandangannya dari interaksi antara adiknya dan Nira.

Yang benar saja, Tara sengaja melakukan itu dihadapannya? Ethan mendengus keras, membuat kedua wanita yang tengah ada di ruangan itu menatapnya. "Kenapa Than?" tanya Titi pada anaknya.

"Ng, nggak apa." Ethan menghindari pertanyaan lain dengan memakan kue yang ada di meja.

"Abang lagi ngurus skripsi ya?"

"Iya." Jawaban singkat itu Ethan tambahi dengan senyuman kecil. Nira membalas senyuman itu, memilih diam daripada melanjutkan percakapan yang terasa kering.

"Mama inget banget, kalian dulu waktu kecil sering banget main monopoli bertiga. Nira pasti bangkrut duluan walaupun mainnya dibantu Mama," tutur Titi.

"Iya, bang Tara sama bang Ethan pinter banget mainnya," balas Nira sembari mengingat saat-saat itu.

Titi tersenyum lebar dan kembali berujar, "Dulu Tara suka banget mainin rambutnya Nira yang panjang, sampai keterusan gede pun masih begitu." Wanita itu mengingat bagaimana putranya memperlakukan Nira seperti adiknya sendiri. Titi telah melihat bagaimana perlakuan keluarga Nira pada gadis itu selama ini. Dulu ia tak menyangka, lelaki yang sahabatnya nikahi bisa jatuh begitu buruknya.

Tak hanya menikah ketika istrinya sakit keras, lelaki itu bahkan mengabaikan anak yang sudah ia nantikan begitu lama. Titi tersenyum kecut, mengingat bagaimana manusia bisa berubah begitu saja dalam waktu sigkat. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa Nira tak akan kekurangan kasih sayang dari keluarganya. Akan ia buatkan sebuah keluarga sebagai tempat bernaung untuk Nira.

"Mama kasih tau si Tara jangan kayak gitu lagi, udah pada gede juga." Ucapan Ethan membuat Titi menatap putranya itu.

Seketika ia paham dan senyuman jahil muncul di wajahnya. "Anak Mama cemburu ya?"

Mata Ethan membelalak, menatap Mamanya itu tak percaya. Tentu saja ia berkata begitu bukan karena cemburu, tetapi memang seharusnya mereka saling membatasi diri karena bukan mahromnya. Ethan tak membalas ucapan Mamanya itu, ia lebih memilih mengalihkan pembicaraan ke arah lan daripada terus berbica tentang hubungan mereka yang rumit.

"Aku mau ambil S2 di Jepang Ma."

Nira terdiam, senyuman yang sempat muncul karena pembicaraan sebelumya menghilang dari wajahnya. Ethan punya rencana, rencana untuk pergi jauh darinya, pikir Nira saat itu. Seketika ia tak merasa nyaman berada di tempatnya saat ini, berada di rumah yang selalu ia anggap tempat berlindung paling aman, tempat yang selalu membuatnya merasa ingin kembali datang, tempat yang selalu berkata padanya untuk pulang.

Dan Nira tahu, jika lelaki itu pergi, maka rumah ini tak akan lagi terasa nyaman untuk pulang. Bidaknya terjebak di pulau terpencil sedang semua petak telah terisi. Tak akan ada lagi tempatnya untuk pergi.

Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang