Tak Mengerti

220 12 1
                                    

Assalamualaikum... Mohon maaf minggu kemarin nggak bisa update karena laptop harus install ulang *banyak alasan* 

Selamat membaca...

----

Nira duduk di kursi teras dengan tangan yang masih bergetar usai perdebatannya dengan sang Papa. Kepalanya pun masih terasa pening walau detak jantungnya sudah mulai teratur. Yang ia butuhkan sekarang hanya satu, seseorang yang akan selalu membuatnya tenang di kala hal seperti ini menimpanya. Nira ingin tak menyulitkan Tara dengan memintanya datang, tetapi ia takut sesuatu akan terjadi jika ia menyetir dalam kondisi seperti ini.

Saat ini satu-satunya orang yang bisa ia ajak berbicara hanya Titi, seseorang yang pastinya akan menegaskan kembali bahwa Mamanya tak akan pernah berbuat hal yang disebutkan Papanya. Tidak ada orang yang lebih mengenal Mamanya dibandingkan wanita itu. Ia yakin, yakin sekali semua yang dikatakan Papanya hanya omong kosong.

Nira langsung berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri mobil yang berhenti di depan rumahnya. Ia hafal benar pemilik mobil itu siapa dan tanpa memastikan kembali ia segera menuju pintu penumpang. Wanita itu membuka pintu mobil dan menyapa Tara yang ada di sana.

"Kamu nggak apa?"

Nira mengangguk dan memasang sabuk pengaman setelah duduk di kursi penumpang. Tara masih mengamatinya dengan wajah khawatir. "Did he do something?"

"Who?"

Suara bariton dari kursi belakang membuat jantung Nira berpacu tak karuan. Ia tahu benar pemilik suara hangat itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Ethan. Nira menolehkan kepalanya menatap bingung ke arah Tara.

"Hari ini pulang awal, dia gak bawa mobil jadi barengan." Tara menjawab tanpa memandang wajah wanita di sampingnya. Pandangannya fokus pada jalanan sembari masih menunggu respon Nira akan pertanyaannya, atau pertanyaan Ethan. Dalam hatinya Tara ingin wanita itu mau membuka diri pada saudaranya, ia tahu Ethan akan bertindak lebih baik dari dirinya dan pada dasarnya ia ingin hubungan mereka berdua lebih baik mengingat cepat atau lambat mereka akan menikah.

"Nira?"

Wanita itu masih tak bergeming, hatinya belum siap untuk bertemu dengan Ethan secepat ini. Masalah dengan papanya menguras waktunya hingga tak ada kesempatan baginya untuk memikirkan lelaki itu. Nira menatap pantulan Ethan di spion tengah. Mata lelaki itu juga terpaku padanya dan tengah menunggu respon darinya.

Nira berpikir keras dan menimbang-nimbang, apakah ia harus mengatakan tentang apa yang terjadi padanya pada Ethan. Mengatakan masalah Papanya pada Tara adalah suatu hal yang berbeda karena lelaki itu tahu permasalahan apa yang dialami Nira, tetapi Ethan, lelaki itu tak tahu apapun tentang Nira. Ada begitu banyak hal yang Ethan lewatkan dan ada begitu banyak hal yang tak mungkin Nira katakan.

Tiba-tiba perasaan marah dan gelisah Nira menumpuk seketika mengingat ketidak pedulian Ethan pada dirinya. Semua hal yang selama ini ia simpan ingin ia tumpahkan begitu saja ke hadapan lelaki itu. "Untuk apa abang tahu? Apa yang bisa Bang Ethan lakukan untukku?"

Pertanyaan Nira yang menggunakan nada tinggi membuat Ethan terkejut mendengarnya. Tak hanya dirinya, Tara pun merasakan hal yang sama. Mereka berdua tak pernah mendengar nada bicara itu keluar dari mulut Nira, dan yang benar saja bukan balasan seperti itu yang Ethan harapkan dari wanita di depannya. Ia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Nira. Detik saat wanita itu memasuki mobil tanpa ragu membuat Ethan sadar kedekatan yang terjalin antara dua orang yang duduk di depannya. Ia sadar ada banyak hal yang Tara ketahui tentang Nira, sedangkan di sisi lain ia tak mengerti apapun tentang wanita itu.

"Apa itu?"

Nira memutar tubuhnya dengan kasar untuk menatap Ethan secara langsung. "Apa abang tahu sudah sewindu abang menghindariku seperti wabah penyakit yang menular? Apa menurutmu aku tidak tahu kenyataan itu selama ini? Aku bukan lagi anak kecil bang, sejak pertama kali kita terlibat perjodohan aku sudah tahu apa artinya. Dan jika saja detik itu juga abang mengatakan keinginan dan harapan abang, aku, aku tak akan merasa tersiksa dengan semua masalah ini!"

Ethan terpaku di tempat duduknya, semua yang dikatakan Nira begitu bertubi-tubi dan tanpa henti, seakan gadis itu memang telah menghapal semua kalimat itu selama bertahun-tahun. Tara mulai mengalihkan perhatiannya pada wanita di sampingnya dan mencoba membuatnya lebih tenang. "Nira, calm down."

Nira menampik tangan Ethan yang mencoba meraih kepalan tangannya. "Bang Tara juga! Kenapa abang selalu membuatku terlihat seperti orang sakit? Kenapa abang selalu mengkhawatirkanku walaupun berkali-kali aku katakan aku baik-baik saja!"

"You are not."

"I am! I-am okay and you should know that! Sebenarnya kenapa abang nggak pernah mencoba membuatku terlihat baik-baik saja? Jangan menatapku seperti itu! Saat- saat melihat tatapan khawatir itu aku menjadi ragu pada diriku sendiri..."

Tara menghembuskan nafasnya dan berhenti menatap wanita di sampingnya untuk kembali fokus ke jalanan di hadapannya. "Apa kamu yakin mau ketemu Mama saat seperti ini?"

Nira menggigit bibirnya mendengar pertanyaan dari Tara. Ia menganggukkan kepalanya, namun hal itu membuat air mata yang sudah menggenang turun dari kelopak matanya dengan deras. Dengan kedua telapak tangannya Nira menutup wajahnya dan berusaha sebaik mungkin agar suara isakannya tak terdengar oleh dua orang lain yang berada di dalam mobil. Di saat seperti ini ia tak bisa mengusik ketenangan Risa yang baru kemarin menikah, ia tak punya pilihan, tak ada orang lain yang bisa memberikannya kekuatan saat ini selain Titi.

"A-aku butuh tante Titi."

Tara tak mengatakan apapun dan hanya fokus menatap jalanan yang ramai di tengah terik matahari yang mulai menyusut ke barat. Ia yakin pasti ada sesuatu yang sangat berat bagi wanita itu kali ini. Nira tak mungkin memberikan reaksi sejanggal itu jika hanya karena masalah sepele. Selama ini Nira sudah sangat bersabar dan tak mungkin kesabaran itu menghilang tanpa ada sesuatu yang besar untuk memicu hal itu.

Nira masih berusaha menghentikan tangisnya, ia menatap keluar mobil berusaha mengusir semua bayang-bayang kenyataan menyakitkan yang terjadi padanya. Sepanjang sisa perjalanan menuju kediaman mereka, baik Tara maupun Ethan tak mengatakan sepatah kata pun. Mereka terdiam, mencoba memberi waktu agar amarah Nira mereda. Sedangkan Nira tak bisa berhenti terlarut dalam pikirannya sendiri, rasa kesalnya dan rasa mengganjal yang tak bisa hilang dari dadanya membuatnya frustrasi.

Dari kursi belakang Ethan masih mengamati wanita itu dengan seksama. Apa yang dikatakan Nira memang benar, sebagian besar permasalahan antara mereka adalah karena ketidak beraniannya untuk mengungkapkan apa yang ia inginkan. Ia berdalih tak ingin menyakiti siapapun, tapi nyatanya wanita itu telah ia sakiti sedimikian rupa. Dan yang paling membuatnya merasa payah adalah kenyataan bahwa ia tak mengerti apapun tentang Nira dan masalah yang dihadapinya. 

Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang