Sendirian Lagi

89 7 7
                                    

Sendirian Lagi

Nira menatap kosong ke arah langit langit kamarnya. Otaknya berpikir keras tentang semua kejadian yang telah terjadi padanya. Ia sendiri masih merasa seperti bermimpi. Kemarin malam rasanya seperti tak pernah terjadi. Ia bingung dan malu tapi tak ada satu pun orang yang bisa ia ajak bicara tentang masalahnya ini.

Bagaimana bisa di dalam rumah seluas ini ia hanya sendiri, bagaimana bisa ia merasa sendiri di dunia yang luas ini? Apa sebenarnya yang ia lewatkan, sesuatu yang kurang dari hidupnya hingga ia merasa begitu kosong. Suara ketukan di pintnya membuat Nira bangkit dari posisinya.

Bi Tina muncul dengan tersenyum, "Udah makan Neng?"

Nira membalas senyuman itu dan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Bi Tina tersenyum sedih, ia tidak tahu apa yang kembali terjadi pada keluarga ini. Kemarin majikannya datang dari Bandung tanpa pemberitahuan dan mengajak Nira pergi keluar. Ia ingat bagaimana gadis cantik itu pamit dengan senyum lebar dan penuh harapan, jujur ia ikut senang.

Namun tak seperti harapannya, gadis itu pulang dengan wajah lesu. Dan tak menunggu lama kedua orang tuanya kembali ke Bandung tanpa pamit dan salam. Sungguh, ia bingung bagaimana bisa seorang ayah mengabaikan anak kandungnya sampai ke titik itu.

"Neng ayo makan dulu, Bibi bikin opor ayam kesukaan Neng loh."

"Iya Bi, nanti Nira makan. Ini masih mau nyelesain tugas dulu," ucap Nira sembari menunjuk ke arah buku yang ada di atas kasurnya.

Bi Tina mengangguk dan meninggalkan kamar Nira. Tak berselang lama, wanita paruh baya itu kembali dan memberi tahu Nira bahwa seorang temannya datang. Nira mengernyitkan keningnya bingung. Ia tak ingat memiliki teman yang akan dengan senang hati datang ke rumahnya.

Nira menghela nafasnya dan menuju ke ruang tamu tempat seseorang yang menyebut dirinya 'teman' itu berada. Nira memutar bola matanya melihat tamunya itu, teman yang sama dengan yang telah mengundangnya ke club malam.

"Ngapain kesini?" tanya Nira bahkan tak ingin untuk duduk dihadapan gadis itu. Ia tak mungkin lupa betapa malunya dia di hadapan Ethan.

Gadis yang tengah duduk dengan arogan di hadapan Nira itu tersenyum mengejek. "Masak datang ke rumah temen sendiri gak boleh sih?"

"Maaf Dara, gue gak mungkin jadi temen lo," ujar Nira dengan wajah serius yang berlawanan dengan wajah mengejek lawan bicaranya.

Gadis bernama Dara itu terkekeh geli melihat keseriusan di wajah Nira, "Why? Lo merasa cukup suci buat nolak ajakan pertemanan gua hah? Lagian kenapa lo gak masuk aja kemaren?"

Nira menghela nafas, Dara bukan tandingannya untuk berdebat. Gadis dengan penampilan dewasa itu sangat terkenal di sekolahnya dengan julukan Ratu. Tak hanya penampilan dan latar belakangnya yang membuatnya mendapat julukan itu, tapi juga sikapnya yang bak Ratu. "Gue gak suka begituan Dar," jawab Nira.

Dara ikut berdiri, rok mininya tak terlihat lebih sopan bahkan saat ia berdiri. "Lo tau gak sih Nir, kalau lo kayak gini gak ada yang baal temenan sama lo."

Nira mengedikkan bahunya, "Daripada jadi cewek gak bener gue mending gak punya temen."

Dara berdecak mendengar tudingan Nira itu. "Jangan sok jadi orang. Lo pasti tau kalau gue udah musuhin lo seisi sekolah gak bakal bisa baik ke lo kan!"

Nira tahu fakta itu, tapi ia tak peduli. Apa baiknya berteman dengan orang hanya untuk membuatnya seburuk mereka. Mamanya tak akan suka dirinya mengikuti pergaulan bebas. Laipula tak ada untungnya ia berteman dengan mereka, ia yakin tak akan merasa lebih baik.

"Okay, lo sendiri yang ngebawa apa yang akan terjadi selanjutnya Nir. Inget itu, gue udah cukup baik buat datang kesini sendiri, but perlu gue akui... gue juga gak suka lo," tutur Dara.

Nira hanya mengangguk dan membiarkan gadis itu pergi dengan ekspresi jengkel. Sungguh dengan apa yang terjadi belakangan ini, Nira tak ingin semua menjadi lebih buruk lagi.

--@@--

Badan Nira menggigil, ia tak ingat sudah berapa lama tubuhnya meringkuk di sudut ruangan yang mulai gelap seiring terbenamnya matahari itu. Sudah hampir lima bulan sejak Dara melayangkan ancamannya dimuka Nira, dan selama itu pula hidup Nira di sekolah bagaikan neraka.

Dara dan komplotannya merisak Nira secara terang-terangan dan tak ada satu pun orang yang menghentikan mereka. Nira selalu diam, ia tak ingin melawan perbuatan Dara dan memperkeruh keadaan. Masa SMA-nya akan segera berakhir dan ia tak menginginkan adanya drama tambahan selama sisa waktu itu. Namun hari ini perbuatan Dara sudah benar-benar melewati batas.

Gadis itu merobek lembaran tugas akhir Nira dihadapan pemiliknya tanpa tahu malu. Tatapan horor dari gadis itu tak diindahkan oleh Dara dan kawanannya. Amarah Nira meledak saat itu juga, ia tak bisa diam lagi setelah apa yang dilakukan Dara padanya.

Untuk pertama kalinya ia mengedepankan amarah, dengan jengkel ia mencengkeram tangan Dara yang masih asyik merobel lembaran tugas miliknya. "Lo gila!"

Tentu Dara dan teman-temannya tak tinggal diam, mereka menarik rambut Nira bahkan saat gadis itu belum menyentuh sehelai rambut lawannya. Hingga akhirnya ia berakhir di gudang belakang sekolah dengan sekujur badan yang basah kuyup. Nira menyesali amarahnya tadi, seharusnya ia diam seperti biasanya.

Tetapi ia juga sudah terlalu lelah dengan perlakuan mengerikan yang Dara dan teman-temannya berikan padanya. Ia bosan diperlakukan bagai sebuah noda yang seharusnya hilang. Suaranya mulai menghilang setelah berteriak beberapa kali untuk memanggil bantuan. Nira terdiam, giginya sudah tak lagi saling beradu seperti beberapa jam lalu. Ia tak ingat berapa jam tepatnya Dara dan kelompoknya menguncinya di ruangan ini. Ia rasa cukup lama karena matahari sudah tenggelam dari balik jendela.

Kepala gadis itu masih sakit karena jambakan yang ia terima. Ia yang tengah datang bulan tak terbantu dengan kondisinya sekarang, badannya terasa basah dan lengket disaat yang bersamaan. Ia memiringkan tubuhnya untuk menyandarkan kepalanya yang mulai berat ke arah tembok.

Air matanya yang sudah ia tahan sedari tadi keluar begitu saja, ia tak yakin dirinya layak diperlakukan seperti ini. Ia ingin pulang. Badan dan hatinya terasa sakit. Isakannya semakin menjadi ketika mengingat tak ada yang akan mencarinya jika dirinya menghilang. Dan sekarang ia tengah menghilang. Satu-satunya orang yang bisa dia harapkan mencarinya adalah Bi Tina, namun wanita paruh baya itu sudah pamit padanya untuk tidak datang karena tengah merawat anaknya yang sakit.

Badannya semakin menggigil ketika nyeri di perutnya terasa. Ia belum makan dan tengah datang bulan, rasanya dua hal itu menambah rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Tak ada yang bisa Nira lakukan selain menangis dan berdoa. Siapa lagi yang bisa ia mintai pertolongan disaat seperti ini selain Allah?

Ia memejamkan matanya, kekosongan yang selalu ia rasakan seakan hilang dalam setiap doa yang ia panjatkan. Mengapa ia tak pernah menyadari, bahwa dirinya sudah terlalu jauh dari Allah karena semua ujian ini. Ia tak pernah mencoba mendekat, namun hanya menyalahkan orang-orang di sekitarnya sebagai kekosongan dalam hatinya. Gadis itu menangis mengetahui betapa bodohnya dia.

"Nira?" suara lantang yang mengisaratkan kekhawatiran itu membuat tangis Nira semakin pecah. Hanya dengan doa, jalan keluarnya terbuka.


Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang