Pengorbanan

86 10 8
                                    

Nira menatap lelaki yang ada di hadapannya dan tersenyum, "Aku pikir Papa akan bertanya kabarku lebih dulu setelah lima bulan kita tidak saling bertemu."

Lelaki paruh baya itu berdehem mendengar komentar putrinya. Abi yang merasa suasana semakin serius memilih pergi menuju kamar kakaknya dan meninggalkan Nira bersama kedua orang tua mereka untuk saling berbicara. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya, Mama tirinya hanya duduk terdiam tanpa menunjukkan minat pada percakapan ayah dan anak yang mulai serius.

"Kenapa kamu ngomong kayak gitu hah?"

"Karena memang seharusnya aku tanya itu dari dulu Pa. Apa Papa tidak merasa perlakuan Papa padaku itu salah?" ujar Nira sembari menahan semua emosi yang menjeratnya selama ini.

"Nira! Kamu berbicara seperti itu seakan aku tidak pernah melakukan apapun untukmu!"

Nira menggigit pipi bagian dalamnya, menahan apapun yang benar-benar ingin ia katakan. "Seharusnya kamu tau! Pembicaraan semacam ini tidak berguna, yang perlu kamu lakukan hanya menuruti kata-kataku seperti biasanya. Kamu juga perlu tahu bahwa dirimu tidak punya hak untuk membantah mengingat semua yang sudah kulakukan untuk menjadikanmu seperti sekarang!" sambung Papanya.

"Memangnya jadi seperti apakah aku sekarang ini Pa? Aku yang selalu tak seperti harapan Papa ini tahu benar bahwa telah banyak yang Papa korbankan untukku, tetapi apakah aku pernah memintanya? Aku tak pernah meminta Pa! Aku tak ingin jadi seperti ini, aku tak ingin jadi diriku yang sekarang ini! Aku ingin bahagia Pa, setidaknya melihat Papa seminggu sekali, seharusnya aku juga tahu dimana kalian tinggal di Bandung, seharusnya Mama... tidak, istri Papa menyapaku setidaknya sekali. Dan seharusnya aku dan saudaraku tidak kalian pisahkan seperti ini! Sebenarnya mengapa Papa seperti ini? Aku ini juga anakmu... tapi mengapa Pa? mengapa?!"

Nira mengatakan semua itu tanpa jeda, ia bahkan tak yakin bahwa ada satu pun air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Air matanya telah mengering, tetapi jauh di dalam hatinya dia menangisi keadaannya saat ini. Terbesit rasa takut dalam diri Nira ketika ia melihat mata Papanya membelalak lebar dan memandangnya dengan tatapan terhoror yang pernah ia lihat.

"Karena aku tidak yakin kamu itu anakku!"

Lelaki itu berdiri selagi mengucapkan kalimat yang tak pernah Nira sangka akan keluar dari mulutnya. "Melihatmu selalu mengingatkanku apa yang sudah wanita itu lakukan," sambungnya.

"Maksud Papa apa?!" tanya Nira dengan nada tinggi. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba menampik pemikiran kotor yang melintasi kepalanya.

Lelaki itu berdecak dan memejamkan matanya, seakan tak mau diingatkan dengan masa lalu. "Mamamu punya pria lain!"

Tubuh Nira terasa lemas, ia terduduk di kursinya. Untuk beberapa saat ia hanya menatap kosong lelaki yang tengah membelakanginya itu. Omong kosong apa yang sebenarnya orang ini katakan, pikir Nira. Mamanya adalah wanita yang sangat mencintai Papanya, tidak mungkin mamanya melakukan perbuatan dosa semacam itu. Rasanya ia ingin berteriak di depan wajah Papanya dan berkata itu tak mungkin, tetapi melihat lelaki itu begitu frustrasi Nira tak berani mengatakan apapun. Ia ingin menampik apa yang dikatakan Papanya, hal itu tak mungkin kenyataan.

Tatapan tajam lelaki itu serasa menusuk jantung Nira, "Aku tak berniat memberi tahumu hal ini sejak awal, walaupun setiap aku melihatmu aku selalu teringat dengannya! Aku berusaha menahannya! Selalu kuyakinkan diriku sendiri dirimu tak ada hubungannya dengan dosa Mamamu itu. Sebanyak itulah pengorbanan yang sudah aku lakukan untuk membesarkanmu Nira! Tapi hari ini kamu memancingku, memancingku untuk membuka aib ini!"

Pandangan matanya mulai tak fokus ia tak tahu lagi mana benar dan mana yang salah. Matanya bertemu dengan Mama tirinya yang untuk pertama kalinya menatapanya dengan pandangan kasihan. Tapi dalam situasi ini ia tak ingin dikasihani karena rasanya benar-benar salah. Ia selalu merasakan koneksi kuat pada Papanya, tak mungkin jika lelaki itu bukan ayah kandungnya. Dan tak mungkin lagi ia mempercayai bahwa Mamanya, wanita yang sangat mencintai Papanya akan memiliki ruangan untuk lelaki lain di hatinya.

Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang