Bicara

102 11 1
                                    

Nira menatap cangkir berisi kopi yang disajikan di atas meja. Ia dan Ethan tengah berada di sebuah cafe, tak jauh dari tempat resepsi yang baru saja mereka hadiri beberapa saat lalu. Di luar langit malam terasa semakin pekat akan tetapi jalanan padat tak kunjung menjadi sepi. Pandangan Nira masih terpaku pada cairan di hadapannya, ia tak berani untuk mengarahkan pandangannya pada lelaki yang tengah duduk di hadapannya.

"Nira."

Pemilik nama itu langsung mendongakkan kepalanya menatap Ethan yang sedari tadi memperhatikannya. "Ya?"

Ethan tersenyum kecut, "Seharusnya kita sudah berbicara sejak lama tentang ini, tentang pernikahan kita." Nira menelan ludahnya, mengantisipasi apa yang akan dikatakan oleh Ethan.

"Tapi seperti yang kamu tahu, kita terlalu muda. Dan juga, kupikir seiring berjalannya waktu... kamu akan menemukan seseorang yang kamu anggap lebih pantas menjadi suamimu." Nira menggeleng, ia menatap lelaki di hadapannya dengan mata terluka. Bagaimana bisa dia menemukan lelaki lain jika hatinya sudah terisi dengan satu nama?

Ethan tahu, ditatap dengan mata seperti itu... ia bisa merasakan kekecewan dari setiap pori wanita di hadapannya. "Kamu tahu Nir, selama ini aku selalu menganggapmu sebagai keluarga. Hari itu aku tak pernah membayangkan aku dan kamu... kita berdua rasanya tak bisa lebih dari itu."

"Apa... ada seseorang yang-" Belum sempat Nira menyelesaikan kalimatnya, Ethan menyela dengan cepat. "Tidak," lelaki itu menggeleng.

"Bukan itu Nir, aku menganggapmu sebagai seseorang yang penting bagiku, sangat penting hingga aku tak pernah membayangkan kita berdua sebagai sesuatu yang lebih dalam lagi."

Selama beberapa menit mereka hanya duduk terdiam sambil sesekali menengguk kopi yang ada di cangkir mereka. Detak jantung Nira yang tak kunjung melambat membuat wanita itu khawatir ia terlalu banyak mengonsumsi kafein dan memutuskan untuk meletakkan cangkirnya dan berhenti meminum kopinya. "Jadi, sekarang kita berdua telah dewasa. Kurasa tak ada salahnya membicarakan ini sekarang, entah kita akan menghentikannya atau..."

Nira menghentikan perkataan Ethan dengan suara batuknya. "Ehmm, maaf..." dengan cepat wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan menuju toilet kafe.

Ia mencoba mengeluarkan obat yang ada di dalam tas jinjingnya. Tanpa menggunakan air ia menelan beberapa butir pil penenang yang selalu ia konsumsi ketika merasakan serangan panik. Ia terduduk di depan pintu, mencoba mengembalikan detak jantungnya yang masih cepat. Nira selalu menyarankan pasien agar tak mengonsumsi kafein dan obat bersamaan. Akan tetapi lihatlah dirinya, sekarang bukannya semakin tenang, jantungnya justru menjadi tak terkontrol.

Nira mencoba menarik nafas dan menghebuskannya perlahan hingga beberapa saat. Detak jantungnya mulai normal ketika terdengar suara ketukan di pintu toilet. "Nir? Are you okay?"

Wanita itu langsung bangkit dari duduknya dan membuka pintu toilet. Wajahnya yang masih terlihat pucat membut kedua alis Ethan menyatu dengan tak nyaman. "Aku baik," sela Nira ketika melihat lelaki itu akan mengatakan sesuatu.

"Aku baik, tapi sepertinya aku tak bisa melanjutkan percakapan ini. Jadi aku akan menghubungi ab- nanti, aku akan menghubungi lagi jika ada waktu. Aku akan menghentikan taksi di depan."

"Nira tunggu, biar aku antar pulang."

"Tidak, tidak perlu... aku pulang naik taksi aja, aku, aku pergi dulu."

Tanpa perlu kembali ke mejanya Nira pergi keluar kafe dengan terburu-buru. Ethan bahkan tak sempat menghentikannya, lelaki itu hanya terdiam melihat Nira pergi meninggalkan kafe dan menghentikan taksi yang kebetulan sedang lewat. Apa yang sebenarnya dia lakukan tadi? Dalam titik ini Ethan bahkan tidak bisa memahami dirinya sendiri. Dia mungkin melanjutkan rencana pernikahannya, tetapi ia tak ingin beralih dari hubungannya sekarang, hubungan yang ia takut untuk rusak.

Tapi lelaki itu juga paham betul, bahwa menghentikan rencana pernikahan mereka berarti ia harus menghancurkan hubungan persaudaraan yang sudah ada sejak dulu. Tak hanya Nira yang akan ia kecewakan, tetapi juga orang tua mereka.

--@@--

Setelah turun dari taksi Nira memasuki rumahnya yang terlihat gelap tanpa ada satu pun lampu yang menyala. Rumah besar yang ia tinggali itu terlihat seperti rumah tak berpenghuni, tak ada keluarga untuk berbagi kehangatan. Berkali-kali Nira berpikir untuk meninggalkan rumah ini dan tinggal di apartemen atau semacamnya, tetapi berkali-kali juga ia menghentikan niatnya itu. Dimana pun ia berada tak akan jauh berbeda, ia akan tetap sendirian.

Untuk kesekian kalinya ia menangis dalam kesendiriannya. Jika saja ia punya keluarga, maka menangis di ruang tengah seperti yang ia lakukan saat ini akan sangat memalukan. Nira terduduk di depan sofanya sambil memeluk dirinya sendiri. Ia tahu cepat atau lambat Ethan akan melepaskannya. Menikahi seseorang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan begitu saja, lelaki itu tak memiliki alasan untuk menikahinya dan tentunya Ethan menginginkan seseorang yang lebih pantas untuknya.

Nira sadar dirinya tak cukup pantas, ia terlalu jauh dari sang Pencipta. Tetapi ia tak bisa melepaskan Ethan, ia menginginkan lelaki itu lebih dari apapun. Ethan satu-satunya lelaki yang bisa ia hormati, yang bisa ia beri seluruh cintanya. Ia rasa ia tak akan bisa untuk menghentikan perasaannya sekarang. Wanita itu ingin bahagia dan dicintai oleh seseorang yang juga ia cintai. Tanpa terasa mata Nira mulai berat, perlahan ia menutup matanya dan tertidur di ruang tengah.

Keesekon paginya gadis itu terbangun dengan badan yang sakit. Saat melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul empat, Nira segera bangun dan memutuskan untuk mandi. Semalam ia bahkan belum menghapus make upnya. Wajahnya yang terlihat di cermin nampak tak karuan dengan rambut pendeknya yang sudah acak-acakan. Nira menghela nafasnya dan memulai rutinitas paginya.

Saat tengah menyiapkan sarapan, suara bel berbunyi menandakan ada seseorang yang tengah berkunjung. Nira melepaskan apronnya dan segera menuju pintu depan untuk mempersilahkan tamu itu masuk. Mata wanita itu terbelalak ketika melihat saudarinya dan sang Ibu tengah menunggu pintu pagar untuk dibuka. Dari balik kaca mobil Nira juga dapat melihat ayahnya yang berada di balik kemudi dengan tatapan dinginnya.

Tanpa bisa dicegah Nira tersenyum kecil dan segera membukakan pintu pagar. Abi menyambutnya dengan senyuman lebar. "Kak Nira!!!" sorak gadis yang sudah menginjak usia 20 tahun itu. Nira membalas senyuman adiknya dan memeluk gadis di hadapannya.

Di samping Abi, ibu tirinya berdiri dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya. Papanya yang masih berada di balik kemudi segera memarkirkan mobilnya di halaman, setelah itu ia masuk ke dalam rumah tanpa kata, dikuti oleh istrinya. Abi tersenyum kecil, ia yang sudah dewasa tentunya sudah bisa memahami situasi dan dirinya tak bisa memahami mengapa orang tuanya bersikap seperti itu kepada sang Kakak.

"Ayo masuk," ucap Nira dengan suara yang masih lemah akibat menangis semalaman. Saat memasuki rumah Papanya sudah duduk di ruang tengah bersama dengan istrinya dan tampak memasang ekspresi yang serius.

Nira berdehem dan duduk di hadapan lelaki paruh baya itu, "Ada apa Pa?"

"Kamu sudah puas kan dengan studimu?"

Pertanyaan papanya itu membuat Nira mengerutkan keningnya. "Ya?"

Lelaki itu menghela nafas, "Kamu sudah mencapai apa yang kamu mau. Dan aku baru dengar, Selatan juga sudah pulang dari Jepang. Kita semua sudah menunggu lama untuk kalian, jadi setelah semua urusan kalian selesai aku rasa tidak ada lagi alasan kamu dan Selatan menunda pernikahan kalian. Cepatlah lakukan pernikahan kalian sesuai rencana, jangan menunda lagi."

Kalimat itu diucapkan Papanya dengan suara rendah yang membuat Nira berkeringat dingin. Ia tak pernah bisa mengetahui apa yang dipikirkan Papanya itu. Nira tersenyum kecil, hari ini hatinya kembali terbelah untuk sekian kalinya. Tak ada lagi yang ia harapkan dari lelaki itu, untuk pertama kalinya ia akan menolak keinginan Papanya. Hari ini ia akan bicara. 

Untuk SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang