Ayah Tania

3.4K 74 12
                                    

Sejak keluar kelas, Tania manyun saja. Biasanya dia akan ramai berceloteh tentang ini dan itu yang dikerjakan bersama Bu Guru atau teman-teman. "Princess lagi sakit gigi?" candaku mengacak-acak rambutnya.

Bibirnya malah tambah maju beberapa mili. Ransel blink-blink imutnya makin ditarik ke depan. Kakinya menendang-nendang kerikil tak berdosa.

Waduh! Candaanku tak mempan rupanya. "Eh, beli es krim, yuk. Panas banget, nih?" ajakku menawarkan godaan yang tak mungkin ditolak.

Ajaib! Ekspresinya tak berubah. Wah, kode merah, nih. Pasti ada yang luar biasa di sekolah tadi.

"Ya udah, kalo ngga mau. Mama aja yang beli es krim," aku pura-pura merajuk.

"Iiih, Mama! Aku lagi setres ini!"

Alamak! Anak TK sudah bicara tentang stres. Apa kabar emaknya? "Setres kenapa, Princess Tania?"

"Besok disuruh ngajakin ayah ke sekolah," jawabnya tambah manyun, "gimana caranya, Mama? Gimana? Aku, kan, ngga punya ayah?"

Jiah! Mulai men-drama dia. "Ya udah, bilang aja, Bu Guru, saya ngga punya ayah. Selesai."

"Ngga semudah itu, Mama!" jawabnya persis dubbing-an telenovela. Kalau tak mempertimbangkan mukanya yang sangat sedih, aku sudah terbahak di tempat. "Kata Bu Guru, kalo ngga ada ayahnya, boleh bawa fotonya aja. Yang gede kalo bisa."

Haduh! Pemaksa sekali Bu Guru-nya ini.

"Aku udah bilang kalo foto ayah pun ngga ada. Tapi Bu Guru ngga percaya. Katanya coba tanya Mama. Emang kita punya foto ayah?"

"Hmm ..."

"Ngga, kan?" potongnya tak sabaran, "sudah kuduga." Diusapnya kening dengan punggung tangan.

Ya, ampun. Anak ini kebanyakan nonton sinetron.

"Trus, gimana?"

Tania menghela napas. "Kata Bu Guru, kalo emang kepaksa, ya udah, cerita aja tentang Ayahku Pahlawanku."

Wataw! Berat ini, berat.

"Coba, deh, Mama cerita kaya gimana ayah itu, biar Tania dengerin. Besok biar Tania bisa cerita di depan kelas."

Kuhela napas. Kuteguk ludah. Kugaruk kening. Tetap saja, tak ada jawaban yang bisa diberikan.

"Ma?"

"Makan es krim dulu, deh," ajakku sambil menggandeng tangannya untuk menyeberang.

***

Menjelang tidur dia kembali menagih, "Mama, malam ini ngga usah dongeng princess sama pangeran, deh. Mama cerita dongeng Mama sama Ayah aja."

Alamak! Ini dongeng paling susah buat diceritakan.

Kuhela napas panjang lalu membaringkan badan di sebelah Tania. "Ayah Tania adalah orang yang baik hati, tidak sombong, rajin menabung, suka menolong. Dah, gitu aja ceritanya besok di depan kelas, oke?" Kukecup keningnya kemudian merapikan selimut princess hingga menutupi leher. "Besok, Mama yang temenin kamu ke kelas, ya?"

Tania masih manyun. Jelas sekali dia tak terima.

"Udah, sih, Princess. Lagian kita juga ga butuh ayah," kataku berusaha menenangkannya.

"Butuh!" balasnya keras.

"Buat apa?" balasku tak kalah keras.

"Buat diajak ke acara Ayahku Pahlawanku."

Aku terbahak melihat muka imutnya. "Udah, tidur sana."

***

Esoknya, sebelum acara dimulai, kutemui guru Tania. Tujuannya tentu mau bikin perhitungan. "Maaf, Bu," kataku memulai pembicaraan serius, "menurut saya, acara Ayahku Pahlawanku ini adalah sebuah acara yang diskriminatif. Bayangkan apa yang terjadi pada anak yang tak memiliki ayah. Dia pasti akan sedih sekali. Apakah itu tujuan sekolah mengadakan acara menggelikan ini? Agar anak-anak yang tak punya ayah merasa minder? Ini sama saja dengan bullying namanya. Saya bisa laporkan ke KPAI. Bullying yang dilakukan secara sistematis oleh pihak sekolah."

Bu Guru di hadapanku ternganga sembari mengelus perut buncitnya. Tania memang pernah cerita bahwa gurunya sedang hamil. Sekarang sudah hampir lahir sepertinya.

Belum sempat menjawab, seorang lelaki datang membawa satu botol penuh air minum. "Botolmu ketinggalan, Sayang," katanya pada Bu Guru.

Aku tertegun. Lelaki itu, terlihat familiar.

Dia pun terpaku. Menatap dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

Ah, ya. Aku ingat sekarang. Dia salah satu lelaki yang mungkin jadi ayah Tania. Kulontarkan senyum padanya.

"Kalian saling kenal?" tanya Bu Guru.

"Ya, kita dulu ...."

"Kita dulu sekampus," lelaki itu buru-buru memotong, "ya, kan?" Matanya memberi kode untuk mengiakan.

Aku tergelak. Dia memilih jawaban aman. "Yeah, sekampus." Pernah semobil juga, semeja, sekamar, setubuh, uhuk.

"Oh, ya, udah. Aku ke kantor dulu," pamitnya kepada Bu Guru.

Bu Guru memajukan bibirnya, kentara sekali minta dikecup. Namun lelaki itu seperti tak menyadari lalu buru-buru keluar.

***

Pagi itu, aku menemani Tania yang wajahnya digelayuti sedih tak sudah-sudah. Sepanjang waktu menunduk saja. Begitu juga ketika terpaksa maju ke depan kelas, bercerita tentang ayahnya. Muka manis itu seolah dilipat sampai ke dada.

Kutemani ia ke depan kelas. Kubisikkan kata-kata penyemangat, "Jujur aja, ngga ada yang perlu ditakutkan."

Dia menatap sedih. Matanya muram, meski tak ada air menggenang di sana. Kemudian setelah menghela napas sepenuh paru-paru, dia berkata, "Aku tak punya ayah. Aku hanya punya ibu. Udah. Gitu aja."

Anak-anak TK itu berpandangan. Beberapa berbisik-bisik. Di barisan belakang, para ayah duduk lesehan menyimak.

Aku berdeham, menghentikan dengung bising anak-anak TK ini. "Ya, teman-teman. Tania memang tak punya ayah. Sama seperti Nabi Isa, juga tak punya ayah. Tapi seluruh dunia tetap mengakui kalau beliau itu manusia mulia, kan?"

Anak-anak TK itu manggut-manggut.

"Nah, jadi yang penting bukan punya ayah atau ngga punya ayah. Yang penting bagaimana kita menjalani kehidupan ini, setuju?"

"Setuju!" kompak anak-anak TK ini menjawab. Meski aku tak yakin mereka benar-benar memahami apa yang disetujui. Peduli amat. Yang penting Tania bisa tersenyum lagi. Wajah muram itu pupus dari mukanya.

Dia kemudian menarik tanganku. Kutundukkan kepala untuk mendengar kata-katanya. Ternyata dia tak hendak bicara. Satu kecupan mendarat di pipi.

Kukecup balik pipi tembamnya. Lega. Satu tantangan terselesaikan lagi.

***

Pulang sekolah, Suami Bu Guru sudah menunggu di balik pagar. Tumben sekali, biasanya aku tak pernah bertemu lelaki itu. Sekarang tiba-tiba dia rajin menjemput. Apa sengaja untuk bertemu denganku? Kan, jadi ge-er.

"Nungguin Bu Guru?" tanyaku berbasa-basi sambil berusaha keras mengingat namanya. Randi, Tomi, Hendri, Doni, Eko, ah, aku benar-benar lupa.

"Eh, iya," gelagapan dia menjawab, "eh, ngga."

Aku mengernyit.

"Endah masih ada rapat katanya." Lalu dia mengajak kami ke kafe di seberang sekolah. Tania senang sekali, dia sibuk bermain perosotan yang tersedia di sana.

"Itu anaknya, ya?" tanyanya tanpa melepas pandang dari Tania.

"Bukan, itu anakku."

Dia tertawa pahit. "Maaf," ujarnya.

"Kenapa?"

Dia menghela napas. "Bukannya tak mau bertanggungjawab. Waktu itu, aku emang belom siap."

Aku terbahak. "Apa bedanya?"

Dia tak membantah.

"Udahlah, ngga masalah. Aku bisa survive sendiri, kok."

Lagi pula, pacarku ada lima waktu itu, entah siapa yang menyumbang benih. 

Selingkuh dan SelingkuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang