"Kalau kamu harus milih satu orang buat jadi suami, kamu pilih Rahmat atau aku?" Latif memberi pertanyaan aneh sore ini. Apakah hujan disertai petir telah membuat otaknya sedikit korslet? Maya tahu, anak-anak Elektro memang mengurusi segala macam perlistrikan. Tapi apakah itu berarti mereka juga sensitif terhadap air hujan seperti listrik?
"Ini cuma nanya aja, iseng aja," Latif menambahkan keterangan pada pertanyaannya. Wajah Maya jelas sekali tampak kebingungan.
"Iseng kok bawa-bawa Rahmat," Maya menyeruput lagi es jeruk di samping mangkok baksonya yang kosong.
Latif memandang rintik hujan yang jatuh dari cucuran atap, "Yah, kamu kayanya deket banget sama Rahmat."
"Ya iyalah, aku satu jurusan sama dia, kita lagi kerja kelompok. Ya pasti banyak interaksi-lah," Maya mengaduk es batu dengan sedotannya yang lemah.
"Kamu satu jurusan kan dari semester satu. Kenapa baru banyak interaksi sekarang? 6 semester kemana aja?" Latif tak mau kalah.
"Lah? Kamu cemburu?" Maya tertawa.
"Emang ngga boleh aku cemburu?" Latif tak terima, "aku pacarmu, bukan?"
"Trus kalo kamu pacarku, kamu punya hak buat ngatur sama siapa aja aku boleh berinteraksi?" Maya mulai sewot
"Kamu sendiri, emang mau kalo ngeliat aku jalan sama cewek lain?" suara Latif mulai meninggi.
"Kalo emang ada perlu, apa salahnya? Aku sadar diri, kok. Ngga mungkin juga aku maksa buat ikutan masuk lab nungguin kamu nyolder," suara Maya tak kalah tinggi.
Latif menyadari bahwa orang-orang di sekitar mereka mulai menatap penuh rasa ingin tahu. Ia diam, tangannya mengepal. "Kita pulang," ia langsung berdiri menyandang ransel.
"Ck," Maya menggigit sedotan. Seluruh air di gelasnya sudah habis tak bersisa. Yang tertinggal hanya tiga bongkah es batu yang tampak mulai menyatu.
"Ayo," Latif mulai tak sabar melihat Maya tak juga beranjak.
"Aku masih mau disini," Maya menjawab tanpa melihat pada Latif.
"Ngapain?"
"Nungguin rahmat," tatapan Maya menantang Latif, "dari Tuhan."
Merasa dipermainkan, Latif beranjak tanpa berkata-kata lagi. Langkahnya buru-buru menuju parkiran. Kedai makan masih ramai oleh mahasiswa yang ingin mengisi perut tanpa menguras kantong. Latif harus memperhatikan jalan yang ditempuhnya agar tak bertabrakan dengan makhluk-makhluk kelaparan penuh pengiritan ini. Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandai Latif memilih langkah, akhirnya menabrak juga. Yang ditabrak bukan orang asing, Rahmat.
"Oh, Maaf, Mas," Rahmat segera minta maaf begitu tahu siapa yang bertabrakan dengannya. Bagaimanapun Latif adalah seniornya di kos yang baru. Rahmat baru pindah kos awal semester ini, sekitar dua minggu yang lalu. Jadi bisa dibilang, dia masih dalam tahap perpeloncoan bersama-sama dengan mahasiswa baru yang juga ikut masuk awal semester ini.
Latif diam saja menatap Rahmat. Ternyata benar Maya menunggu Rahmat. Diliriknya Maya sekilas. Gadis itu masih duduk di tempat yang sama, tampaknya belum menyadari kedatangan Rahmat. Latif tak mau ambil pusing. Harga diri menahannya dari kembali dan menarik Maya. Lupakan saja!
Maya terhenyak melihat Rahmat memesan makanan di hadapannya. Serta merta ia mengalihkan pandangan ke pintu keluar, memastikan kalau tadi Latif tak sempat bertemu Rahmat. Kemudian ia bernapas lega, tak ada Latif di pintu keluar. Sepertinya mereka tak bertemu tadi.
"Eh, May. Kok ngga bareng Mas Latif?" Rahmat menyapa penuh basa-basi.
Uhuk! Es batu yang sudah hancur di mulutnya tersembur ke muka Rahmat. Rahmat membersihkan wajahnya dari air es bercampur liur sambil mengomel, "Jiah! Jangan pas di muka napa kalo mo ngirim pelet."
"Pelet pala lo peang!" Maya melemparkan tisu ke depan Rahmat.
"Eh, lo berantem ama Mas Latif? Mukanya kucel banget kaya kaos oblong ngga dicuci seminggu," Rahmat mulai bertanya begitu berhasil duduk manis di atas bangku.
"Hhh!" Maya menghembuskan napas kesal, "dianya aja jelesan mulu!"
"Sayang, loh May," Rahmat mulai memainkan matanya genit.
"Sayang apaan?" Maya mulai curiga.
"Mas Latif aslinya seksi banget, loh," Rahmat kini senyum-senyum tanpa maksud yang dapat ditangkap Maya dengan jelas. "Six pack alami," lanjutnya berbisik.
"Apa lo? Awas kalo lo deket-deket ama Mas Latif!"
"Gue kan sekarang sekamar ama Mas Latif," Rahmat menjilat bibirnya sendiri.
Maya terpana, tak tahu harus bilang apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh dan Selingkuhan
Short StoryKumpulan cerpen tentang orang ketiga. Bukan untuk bikin baper, hanya untuk senang-senang. syukur-syukur jadi bahan renungan....Selamat menikmati