"Lo gila, Sil!" batinku kesal melihat Sisilia yang masih bisa menyeruput mochacinno dengan tenang. Tak tergurat sedikit pun rasa bersalah di raut mukanya. Tangan itu tetap saja lincah menjumput kentang goreng lalu memasukkannya dengan anggun ke dalam mulut. Tak usah kuceritakan bagaimana dia menggigit kentang itu dengan lembut. Benar-benar memuakkan.
Kegusaran pasti terlihat jelas di wajahku. Apalagi setelah melihat seringai tak peduli yang diukir kedua belah bibirnya.
"Kok, lo yang ribut, sih Va? Gue yang ngelakuin biasa aja, kok," dia tetap tenang mencomot kentang goreng lagi.
"Kalo lo ga suka ama Herman, kenapa ga minta cerai aja? Jadi lo bisa bebas senang-senang sama siapa pun," kekesalanku sudah sampai ubun-ubun.
"Ga," Sisilia menjawab seenaknya, "dia cinta mati ama gue."
"Lo ga mau minta cerai karena dia cinta sama lo? Padahal lo sendiri ga cinta?" logika darimana ini?
Dia mengangguk, "Susah tahu, cari cowok yang bener-bener cinta sama kita. Bisa nerima kita, kaya gimana pun keadaan kita. Kalo lo nemu cowok kaya gitu, jangan dilepas. Biar pun lo ga cinta sama dia, tapi dia ga bakal biarin lo menderita."
Petuah cinta macam apa ini? Dilontarkan oleh seorang tukang main laki-laki? Cih!
***
"Hari ini Herlia tidak terlalu bersemangat. Sepertinya dia agak demam," aku menceritakan sedikit hasil pengamatan selama di daycare.Herman tersenyum dan berjongkok sambil menyentuh kening Herlia, "Lia ga enak badan, ya?"
Herlia menunduk, menyurukkan wajahnya dalam pelukan sang Papa. Pemandangan seperti ini selalu menghangatkan hati. Seorang ayah dengan penuh kasih memeluk puterinya. Ah, betapa indah dunia jika semua ayah seperti ini.
Herman kemudian menggendong puterinya. Kuserahkan tas kecil berisi keperluan harian Herlia, "Sisil ngga ikut jemput?"
"Dia masih ada meeting sama konsultan, katanya," Herman tersenyum dan melangkah menuju parkiran.
Kuiringi langkahnya menuju parkiran, "Meeting sama konsultan, ya?" Di pikiranku, konsultan itu ada dalam dua tanda petik.
Herman tersenyum. Kulihat Herlia tertidur di pundaknya. "Akhirnya tidur juga." Setelah seharian rewel karena tak enak badan, kini dia tertidur di tempat ternyaman di dunia.
Herman melirikku dan terkekeh, "Tempat favorit buat tidur kayanya."
Aku ikut tertawa. Yah, aku juga mau tidur disitu. Kugigit bibirku agar tidak sembarangan mengucapkan kata. Entah apa yang ada di pikiran sahabatku itu. Dia masih saja bermain-main dengan banyak lelaki dan membiarkan suami segagah ini jalan sendiri.
Herman menekan tombol pembuka pintu. Terdengar bunyi klik tanda kunci pintu terbuka. Kubukakan pintu kursi belakang untuk membantu menyiapkan carseat untuk Herlia.
"Thanks," Herman melempar senyumnya yang memang manis luarbiasa.
"Sama-sama," kubalas senyumnya. Ah, Herman. Kenapa kau mencintai Sisilia?
Herman berlalu menuju pintu sopir. Tapi aku masih ingin menikmati suaranya, "Sisil sering lembur, ya?"
Herman menoleh dan tersenyum lagi. Ah, jangan terus tersenyum begitu, aku bisa meleleh.
"Dia rajin banget, ya?" hatiku menjerit ingin menceritakan perselingkuhan isterinya.
Herman mengambil napas, "Kerja itu hidupnya. Dia bisa gila kalo ga kerja." Pintu mobil sudah terbuka setengah ketika dia berhenti lalu berpaling padaku, "Apa kamu tahu soal Vincent?"
Deg! Darimana dia tahu nama itu? Vincent adalah salah satu gula-gula favorit Sisilia.
"Kamu kenal, ya?" Herman tertawa dengan nada yang sulit kuterjemahkan. Entah sakit atau sedih. Yang pasti bukan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh dan Selingkuhan
Short StoryKumpulan cerpen tentang orang ketiga. Bukan untuk bikin baper, hanya untuk senang-senang. syukur-syukur jadi bahan renungan....Selamat menikmati