Buru-buru kuraih kerudung. Tangan masih bau bawang setelah selesai menyiapkan bumbu marinade ikan tongkol. Sekilas kulihat Malika, masih lelap di tempat tidur. Dalam hati mendengus sendiri, siapa sih yang sore-sore datang tanpa notifikasi dan merusak jadwal masakku?
Kuintip dari jendela. Sesosok perempuan tinggi semampai berbalut gamis cantik warna pink tua dengan motif bunga-bunga kecil. Kerudungnya lebar dengan warna senada tanpa motif apa pun. Postur tubuhnya lebih mirip model daripada ibu-ibu perumahan sini yang rata-rata berpinggul lebar sehabis melahirkan.
Kuusap wajahku sendiri. Memandang pakaian yang melekat di badan. Alhamdulillah, aku pakai daster batik terbaik hari ini. Maksudnya bukan daster biru yang bolong di jahitan kantongnya, atau daster kuning yang separuh kelimannya sudah lepas di bagian tangan.
Kuperbaiki letak kerudungku. Tercium lagi aroma bumbu tongkol yang menyengat. Tiba-tiba aku menyesal hanya cuci tangan dengan air saja ketika mendengar bel pintu tadi. Ah, bodohnya aku.
"Assalamu'alaikum," sapaku begitu membuka pintu.
Tamu bergamis cantik itu membalikkan badan, "Wa'alaikumsalam." Senyum manis tersungging di atas dagu lancipnya. "Apa kabar, Mbak Lastri?" segera ia menghampiriku dan langsung menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Kuberikan tanganku hampir seperti terhipnotis. Lupa kalau tangan ini masih bau tongkol, dan membiarkannya mencium tanganku. Cepat-cepat kutarik tangan dan menyodorkan pipiku sebagai tanda keakraban.
Dengan lugas ia pun membalas dan pipi kami bersentuhan. Aroma parfum mahal segera menghipnotis. Aku tahu ini parfum mahal karena aroma yang tidak menusuk, berarti kadar alkoholnya sedikit.
Cepat-cepat kutarik tubuhku menjauh. Rasa minder segera menyeretku. Baru ingat kalau belum sempat mandi dari pagi. Malika yang sedang kurang enak badan menempel terus minta menyusu. Badanku hampir remuk rasanya karena lupa sarapan dan menggendong bayi 10 bulan kemana-mana. Di saat seperti ini, rasanya ingin sekali memaksa Abi-nya untuk cuti. Tapi apa daya, pekerjaan selalu lebih penting, bukan?
"Kok bengong, Mbak?" suara tamu cantikku manja. Wajahnya putih mulus bagai porselen, kutebak ia hanya menggunakan bedak tipis nipis di muka. Bibirnya sudah merah alami dan sepertinya hanya dipoles oleh lip balm saja. Aku menerawang, mengingat kembali waktu terakhir masih rajin merawat diri seperti ini. Mungkin sebelum kelahiran anak pertama, berarti 12 tahun yang lalu? Antara sadar dan tidak aku menyentuh pipi sendiri, pasti muka ini kusam sekali, ya?
"Ah, engga," sejujurnya aku masih berusaha mengingat-ingat, siapa tamu cantik yang kini ada dihadapanku.
"Perkenalkan, saya Larissa. Teman-teman memanggil saya Rissa. Karena saya jauh dari kata laris. Buktinya sampe sekarang masih belom laku," dia berseloroh sambil menahan tawa.
Aku tak paham apa yang perlu ditertawakan. Entah karena memang aku bodoh pangkat lima, atau mungkin memang otakku yang lemot sejak lahir.
"Saya masih jomblo, Mbak. Tapi bukan Jones loh, ya. Saya masuk komunitas Jojoba, Jomblo-jomblo Bahagia," tawanya kembali renyah terdengar.
Aku hanya tersenyum kecut. Sekecut bau keringatku yang menumpuk di daster terbaik. "Apa yang bisa saya bantu, Mbak Rissa?" Teringat pada tongkol di dapur, sudah ditutup belum, ya? Khawatir kucing belang tetangga masuk tanpa diundang dan langsung icip-icip tongkol segar.
"Boleh saya masuk, Mbak? Ngga enak, ah, berdiri di depan pintu," ekspresinya sengaja dibuat merajuk. Wajahnya yang imut terlihat makin menggemaskan dalam ekspresi begini.
"Oh, ya, silakan masuk," kugeser tubuhku yang lebar ke kiri agar bodi rampingnya bisa masuk ke dalam rumah. "Silakan duduk," buru-buru kuambil beberapa buku dan pensil warna yang ditebarkan Malika di sofa. Dia belum bisa menulis namun sudah pandai menggoreskan warna di kertas. Itu suatu prestasi, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh dan Selingkuhan
Short StoryKumpulan cerpen tentang orang ketiga. Bukan untuk bikin baper, hanya untuk senang-senang. syukur-syukur jadi bahan renungan....Selamat menikmati